KISAH TELDAN SUAMI & ISTERI

 

FB_IMG_1563989405130.jpg

KISAH TELDAN SUAMI & ISTERI

“Assalamu’alaikum…!”
Ucapnya lirih Abdurrahman saat masuk rumah.Tak ada orang yang menjawab, *Dia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur.*”Biarlah malaikat yang menjawab salamku,” Gumamnya dalam hati.Diletakkanlah tas, ponsel dan kunci-kunci di meja.Setelah itu, barulah Abdurrahman menuju kamar mandi sekalian berwudlu kemudian berganti pakaian.Semua tertidur pulas, tak ada satu-pun yang terbangun.Segera dia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar. Dia tidak ingin menggangu istrinya yang sedang pulas tidur.Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadiran suaminya.Kemudian Abdurrahman duduk di pinggir tempat tidurnya.Dipandanginya dalam-dalam wajah Qonita istrinya.Abdurrahman teringat perkataan almarhum ayahnya, dulu sebelum dia menikah.

Ayahnya berpesan :

  • “Jika kamu sudah menikah nanti:
  • Jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan keinginanmu.
    Karena kamu pun juga tidak sama persis dengan maunya.
  • Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda. Dia bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Dan..
  • Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya,

Maka..
Lihatlah ketika istrimu tidur..”“Kenapa Yah, kok waktu dia tidur?” Tanyanya kala itu. Ayahnya menjawab :
“Nanti kamu akan tahu sendiri”Waktu itu, dia tidak sepenuhnya memahami maksud ayahnya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena ayahnya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.Malam itu, Abdurrahman mulai memahaminya. Malam itu, dia menatap wajah istrinya lekat-lekat.Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya.Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima.Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat.Pancaran tulus dari kalbu.
Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan.Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Dalam batin, Dia bergumam,

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis:

  • Yang leluasa beraktivitas,
  • Banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Lalu aku menjadikanmu seorang istri.
  • Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit.
  • Memberikanmu banyak batasan,
  • Mengaturmu dengan banyak aturan.Dan aku pula..
  • Yang menjadikanmu seorang ibu. •Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan.
  • Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.Wahai istriku..
    Engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, kini aku memberikan beban di tanganmu, dan dipundakmu..
  • Untuk mengurus keperluanku,
  • Guna merawat anak-anakku, juga
  • Memelihara kenyamanan rumahku.Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku. Kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku.Kau buang egomu untuk menaatiku.Kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku..
Di kala susah, kau setia mendampingiku.Ketika sulit, kau tegar di sampingku.Saat sedih, kau pelipur laraku.Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku.Jika aku gundah, kau penyejuk hatiku. Kala aku bimbang, kau penguat tekadku.Bila aku lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika aku salah, kau yang menasehatiku.Wahai istriku..
Telah sekian lama engkau mendampingiku. Kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu..?! Dengan alasan apa aku marah padamu..?!Andai kau punya kesalahan atau kekurangan.
Semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan air mata.Akulah yang harus membimbingmu.
Aku adalah imammu.Jika kau melakukan kesalahan.
Akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu.Jika ada kekurangan pada dirimu.
Itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah.Karena kau insan, bukan malaikat.Maafkan aku istriku.
Kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah azza wa jalla. Segala puji hanya untuk Alloh azza wa jalla yang telah memberikanmu sebagai jodoh untukku.”Tanpa terasa air matanya menetes deras di kedua pipinya.Dadanya terasa sesak menahan isak tangis.Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan.Tak lama kemudian ia pun terlelap.”Teeng..teeng” Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali.Qonita, istri Abdurrahman terperanjat sambil terucap :
“Astaghfirulloh, sudah jam dua..!”Dilihatnya sang suami pulas di sampingnya.Pelan-pelan ia duduk, sambil berdoa memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatanganmu.Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa.Sudah makan apa belum ya dia..?!”
Gumamnya dalam hati.Ada niat mau membangunkan, tapi ach.. tidak tega.
Akhirnya dia cuma pandangi saja wajah suaminya.Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya.Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Hanya hatinya yang bicara :

“Wahai suamiku

  • aku telah memilihmu untuk menjadi imamku.
  • Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku.
  • Begitu besar harapan kusandarkan padamu.
  • Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

Wahai suamiku.

  • Ketika aku sendirian.
  • Kau datang* *menghampiriku.
  • Saat aku lemah.
  • Kau ulurkan tanganmu menuntunku.
  • Dalam duka.
  • Kau sediakan dadamu untuk merengkuhku.
  • Dengan segala kemampuanmu..
  • Kau selalu ingin melindungiku.

Wahai suamiku..
Tak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku.
Tak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu.
Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal, tidak menyurutkan lanegkahmu.

Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak. Lalu..
Atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu.*Ambillah hikmah dari bacaan ini_

LIDAH YANG BERTULANG

Lidah

LIDAH YANG BERTULANG

JAGA LISANMU..

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallaam bersabda :

” Seorang mukmin itu bukanlah tukang cela, tukang melaknati orang, tukang berkata kotor atau berkata yang rendah (jorok) ”
( HR. Ath-Tirmidzi )

” Jauhilah olehmu perkataan yang kotor, sebab Allaah tidak suka kepada orang yang kotor ucapannya ataupun perkataannya yang menyebabkan timbulnya kata-kata kotor dari orang lain ”
(HR.Thabrani, Nasa’i, Hakim, Ibnu Hibban)

Allah tidak suka dengan hamba-hambanya yang berkata kotor, suka mencela, menghina, memanggil orang lain dengan nama-nama hewan, dengan sebutan yang tidak baik, ucapan mengandung kebathilan.

Jika itu dilakukan, apakah yang didapatkan ?
Apa manfa’atnya ?
Selain dapat dosa dan sulit untuk meminta ma’af jika hal itu dilakukan di medsos kepada banyak orang.
Dan semua yang diucapkan atau ditulis, itu selalu dicatat oleh Malaikat dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Rasulullah bersabda :
” Tidaklah manusia tersungkur di neraka, di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka, melainkan karena disebabkan oleh lisan mereka ”
( HR. Ath-Tirmidzi )

Masuk neraka karena lisan, lidah yang tidak di kendalikan dan diumbar menuruti hawa nafsu, emosi yang tidak terkontrol, amarah yang di ikuti, jadilah merugikan diri sendiri.

Firman Allaah : QS.Al Muddatstsir.42 & 45

” Apakah yang memasukan kamu ke dalam neraka saqar ? “

” Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya “

Rasulullah bersabda :

” Sebesar-besar kesalahan seseorang pada hari kiamat ialah yang terbanyak omong kosongnya dalam hal kebathilan”
(HR.Ath-Thabrani, Ibnu Abiddunya)

Wallaahu a’lamu bish showaab.

Semoga kita termasuk orang yang bisa mengendalikan lisan dengan baik.

 

Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Manhaj Tarjih Muhammadiyah

IMG20190118115909

MANHAJ TARJIH DAN PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

BAB I

MUQADDIMAH

Kebutuhan untuk menyempurnakan manhaj (metodologi) pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah, di satu sisi, dipandang merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan intensitas dan ekstensitas berbagai perkembangan kehidupan. Sementara pada sisi yang lain merupakan pengakuan atas watak relatifitas produk historis terutama yang menyangkut manhaj pemikiran. Manhaj Pemikiran adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya; di dalamnya  dimuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi dan operasionalisasinya.  Manhaj ini bersifat menyeluruh, fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif terhadap perkembangan keilmuan, dan kemasyarakatan.

Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (Al-rujū’ ilā al-Qur’ān wa as-Sunnah al-Maqbūlah). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas perbagai persoalan tersebut. Orientasi kepada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan  merekonstruksi manhaj-nya.

Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan kritis/komunikatif-dialogis) antara normativitas dī(Al-rujū’ ilā al-Qur’ān wa as-Sunnah al-Maqbūlah), historisitas berbagai penafsiran atas dīn, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan rūḥul ijtihād dan tajdīd terus tumbuh dan berkembang.

 

BAB II

SUMBER AJARAN ISLAM

  1. Sumber Ajaran Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqb­lah.
  2. Pemahaman terhadap kedua sumber tersebut dilakukan secara komprehensif inrtegralistik melalui pendekatan bayani, burhani dan irfani dalam suatu hubungan yang bersifat spiral. [Penyesuaian penempatan: Angka 1 dan 2 diambil dari Putusan Munas XXIV, Malang, Bab II dengan menyesuaikan dan menyelaraskan angka 2 dengan diktum alinea pertama Bab III C dan alinea terakhir Bab IV putusan ini (MTPPI)].
  3. Beberapa istilah:

a. Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih [maksudnya maqbulah, sesuai angka 1 di atas], berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.

Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya,  berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.

b. Dunia: Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah saw, “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan) yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).

c. Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada allah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larqangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinka-Nya.

Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diidzinkan allah. Ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.

d. Sabilullah: Sabilullah ialah jjalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya. [Angka 3 diambil dari HPT, h. 276-277].

 

BAB III

MANHAJ IJTIHAD HUKUM

A.  Pengertian Umum

Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis yang digunakan dalam Manhaj Tarjih ini, perlu dijelaskan pengertian-pengertian umum tentang istilah-istilah sebagai berikut:

Ijtihād: Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.

Maqāshid asy-Syarī’ah:  Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum (al-Qur’an dan as-Sunnah).

Ittibā: Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya. Ittiba‘ merupakan sikap minimal harus dapat dilakukan oleh warga persyarikatan.

Taqlid: Mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi warga persyarikatan baik ulamanya maupun warga secara keseluruhan.

Talfīq: Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘iTalfiq terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba‘. Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.

Tarjih: Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rājih), lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya. Sedangkan secara institusional Majelis Tarjih adalah lembaga ijtihad jama‘i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggota terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi ush­liyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.

As-Sunnah al-Maqbūlah: Perkataanperbuatan dan ketetapan dari Nabi saw, yang menurut hasil analisis memenuhi kriteria shahih dan hasan.

Ta’abbudī: Perbuatan-perbuatan ‘ub­diyyah yang harus dilakukan oleh mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada penambahan atau pengurangan. Perbuatan ta‘abbudī tidak dibenarkan dianalisis secara rasional.

Ta‘aqquli: Perbuatan-perbuatan ‘ubudiyyah mukallaf yang bersifat ta‘aqquli, berkembang, dan dinamis. Perbuatan ta‘aqquli dapat dianalisis secara rasional.

Sumber Hukum: Sumber hukum bagi Muhammadiyah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqb­lah.

Qath’iyyul-wurūdNash yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya karena proses penyampaiannya meyakinkan dan tidak mungkin ada keterputusan atau kebohongan dari para penyampainya.

Qath’iyyud-dalālah: Nash yang memiliki makna pasti karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna tunggal dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna lain.

Zhanniyyul-wurūdNash yang tidak memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya, karena proses penyampaiannya kurang meyakinkan dan karena ada kemungkinan keterputusan, kedustaan atau kelupaan di antara para penyampainya.

Zhanniyyud-dalālah: Nash yang memiliki makna tidak pasti, karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna ganda, dan dapat ditafsirkan dengan makna lain.

Tajdid: Pembaharuan yang memiliki dua makna, yakni pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid tathwīrī)

Pemikiran: Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan berfikir terhadap suatu masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiah, meliputi bidang teknologi, filsafat, tasawwuf, hukum, dan disiplin ilmu lainnya.

B. Sumber Hukum dan Kedudukan Ijtihad

  1. Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.
  2. Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. [Huruf B diambil dari HPT, h. 278].

C.  Pengertian, Posisi, Fungsi dan Ruang Lingkup Ijtihad

Ijtihad hukum adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum syar’ī yang bersifat zhannī dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik secara metodologis maupun permasalahan.

Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Ruang lingkup ijtihad meliputi:

  1. Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil-dalil zhanni.
  2. Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

E. Metode, Pendekatan, dan Teknik

1. Metode

a. Bayani (semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.

b. Ta’lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.

c. Istishlahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum ijtihadiyah adalah:

a. At-tafsīr al-ijtima’ī al-mu’āshir (hermeneutik)

b. At-tārīkhī (historis)

c. As-susiuluji (sosiologis)

d. Al-antrubuluji (antropologis)

3. Teknik

Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah:

a. Ijma‘

b. Qiyas

c. Mashalih Mursalah

d. ‘Urf

F. Ta’ārudl al-Adillah

1. Ta‘ārudl al-adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.

2. Jika terjadi ta‘arrudl diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:

a. Al-jam‘u wa at-taufīq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zhahirnya ta‘ārudl. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyīr).

b. At-tarjīh, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.

c. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.

d. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.

G. Metode Tarjih terhadap Nash

Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi.

1. Segi Sanad

a. Kualitas maupun kuantitas rawi

b. Bentuk dan sifat periwayatan

2. Segi Matan

a. Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr

b. Matan yang menggunakan sighat khass lebih rajih dari sighat ‘am

3. Segi Materi Hukum

4. Segi Eksternal

H. Beberapa Kaidah Mengenai Hadis

  1. Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah.
  2. Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marf­ū‘ dapat dijadikan hujjah.
  3. Hadis maukuf termasuk kategori marfū­‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarf­ū‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
  4. Hadis mursal Tabi‘ī murni tidak dapat dijadikan hujjah.
  5. Hadis mursal Tabi‘ī dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
  6. Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
  7. Hadis-hadis dha’if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
  8. Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.
  9. Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.
  10. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
  11. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari HPT, h. 300-301(MTPPI)].

 

BAB IV

MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM

A. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam

Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan  metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.

Posisi Islam dan Pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan Pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushū­sh al-mutanāhiyah) melalui tindakan pengubahan baik  penambahan dan pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-Kāfirū­n: 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waqā‘i’ ghairu mutanāhiyah).

Dengan meletakkan Islam dalam al-tajdīd wa al-ibtikār, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajdīd wa al-ibtikār merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘ālamīn; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)

Sumber Pemikiran IslamSetiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam sebagai ad-dīn memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu, pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam  pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyāf. Dan yang  terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.

Fungsi Pemikiran IslamPemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality). Dalam wilayah  kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society,  kekerasan sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.

Metodologi Pemikiran IslamDalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbārī dan kebenaran nazharī. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca  maupun audiensnya. Ada rentang waktu – dulu, kini, mendatang — di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutanāhiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan  berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turāts) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah). Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan  atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-Qirā’ah al-Muntijah, bukan al-Qirā’ah al-Mutakarrirah).

Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas  dan perubahan (ats-tsabāt wa at-taghayyur) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut  dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran  keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muhāfazhatu ‘ala al-qadīm ash-shāliḥ ma’a al-akhdz bi al-jadīd al-ashlaḥ.

Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain:  produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan  masalah baru; fleksibel dalam arti pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisyāf; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan   sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.

B. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam

Manhaj pengembangan pemikiran Islam ini dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:

  1. Prinsip al-murā‘āh (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
  2. Prinsip at-tahditsi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
  3. Prinsip al-ibdā‘ī (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).

C.  Kerangka Metodologi  Pengembangan Pemikiran Islam

Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayānī, ‘irfānī dan burhānī, sesuai dengan obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas — berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan  ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.

1. Pendekatan Bayā

Pendekatan bayānī sudah lama dipergunakan oleh para fuqahāmutakallim­n dan ush­liyy­nBayānī adalah  pendekatan untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhāhir dari lafzh dan ‘ibārah yang zhāhir pula; dan b) istinbāth hukum-hukum dari an-nushush al-mutanāhiyah dan al-Qur’an khususnya.

Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafzh. Hubungan antara makna dan lafzh dapat dilihat dari segi: a) makna wadl’ī, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi  makna khāshsh, ‘āmm dan musytarak; b) makna isti’mālī, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqīqah (sharīhah dan mukniyah) dan makna majāz  (sharīh dan kināyah); c) darajat al-wudl­h, sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhāhir, khafī, musykil, mujmal dan mutasyābih; dan d) thuruq al-dalālah, penunjukan lafzh terhadap makna, meliputi dalālah al-‘ibārah, dalālah al-isyārah, dalālah al-nash dan dalālah al-iqtidlā’ (menurut Hanafiyah), atau dalālah al-manzh­m dan dalālah al-mafh­ūm baik mafh­ūm al-muwāfaqah maupun mafh­ūm al-mukhālafah (menurut Syafi‘iyah).

Untuk itu, pendekatan bayānī mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbāb al-nuzū­l, dan istinbāth atau istidlāl sebagai metodenyaSementara itu, kata-kata kunci (keywords) yang sering dijumpai dalam  pendekatan ini meliputi ashl – far’lafzh – ma’nā (manth­q al-lughah dan musykilah al-dalālah; dan nizhām al-khithāb dan nizhām al-‘aql), khabar-qiyās, dan otoritas salaf (sulthah al-salaf). Dalam al-qiyās al-bayānī, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam: 1) al-qiyās berdasarkan ukuran kepantasan antara  ashl dan far‘ bagi hukum tertentu; yang meliputi a) al-qiyās al-jalī; b) al-qiyās fi ma‘nā al-nash; dan c) al-qiyās al-khafī;  2) al-qiyās  berdasarkan  ‘illat terbagi menjadi: a) qiyās al-‘illat; dan b) qiyās al-dalālah;  dan 3) al-qiyās al-jāmi’ terhadap  ashl dan far‘.

Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayān: 1) Bayān al-I‘tibār, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiyās al-bayānī baik al-fiqhyal-nahwy dan al-kalāmy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqīn maupun tashdīq; 2) Bayān al-I‘tiqād, yaitu penjelasan mengenai makna segala sesuatu yang meliputi makna haqq, makna mutasyābih fīh, dan makna bāthil; 3) Bayān al-‘Ibārah yang terdiri dari: a) al-bayān al-zhāhir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayān al-bāthin yang membutuhkan tafsir, qiyāsistidlāl dan khabar; dan 4) Bayān al-Kitāb, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari kātib khat, kātib lafzh, kātib ‘aqd, kātib hukm, dan kātib tadbīr.

Dalam pendekatan bayānī, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.

2. Pendekatan Burhānī

Burhān adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhānī atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas  maupun teks  dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tārīkhiyyah), realitas sosial (ijtimā’iyyah) dan realitas budaya (tsaqāfiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqūlāt (kategori-kategori) meliputi kully-juz’iy, jauhar-aradlma’qūlātalfāzh sebagai kata kunci untuk analisis.

Karena burhānī menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm al-lisān dan ‘ilm al-manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafzh al-dalālah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga merupakan alat (manāhij al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang mauj­d baik yang wājib atau mumkin, dan mauj­d fi al-adzhān (rasionalisme) atau mauj­ūd fi al-a‘yān (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; manthiq mafhū­m (mabhats al-tashawwur), manthiq al-hukm (mabhats al-qadhāyā), dan manthiq al-istidlāl (mabhats al-qiyās). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazhariyyah al-hukm dan nazhariyyah al-istidlāl.

Dalam tradisi burhānī juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ūlā (metafisika) dan al-falsafat al-tsāniyyahFalsafat al-ūlā membahas hal-hal yang berkaitan dengan: wujūd al-‘aradlywujūd al-jawāhir (jawāhir ūlā atau asykhāsh dan jawāhir tsāniyah atau al-naw), māddah dan shūrah,dan asbāb yang terjadi pada a) māddah, shūrah, fā‘il dan ghāyah; dan b) ittifāq (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta) dan hazhzh(sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-tsāniyyah atau disebut juga ‘ilm al-thabī’ah, mengkaji masalah: 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (as-sunnah al-‘ālamiyyah) maupun manusia (as-sunnah al-insāniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azalī (harakah qadīmah) maupun gerak mauj­d (harakah hāditsah) yang bersifat plural (mutanawwi’ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihālah), dan tempat (sebelum dan sesudah).

Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-­ūlā (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ul­ūm al-ijtimā‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ul­ūm al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (susiuluji), antropologi (antrubuluji), kebudayaan (tsaqāfi) dan sejarah (tārīkhi), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.

Pendekatan  sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan rekacipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan rekacipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan rekacipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan  kebudayaan (tsaqāfi) yang erat kaitannya dengan  dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia  Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Agar upaya rekacipta masyarakat Muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini juga menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan  sejarah (tārīkhi). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar upaya pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman  baru yang lebih memadai dan up to date.

Oleh karena itu, dalam burhānī, keempat pendekatan – tārīkhi, susiuluji, tsaqāfi dan antrubuluji – berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.

3. Pendekatan ‘Irfānī

Irfānī mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode  ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghun­s atau gnosis. Ketika ‘irfān diadopsi  kedalam Islam, para ahl al-‘irfān mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai 1) al-naql dan al-tawzhīf;  dan 2) upaya menyingkap wacana qur’ani  dan memperluas ‘ibārahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irfānī adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwifīn dan ‘ārifīn untuk mengeluarkan  makna bāthindari  bāthin lafzh dan ‘ibārah; ia juga merupakan istinbāth al-ma’ārif al-qalbiyyah dari al-Qur’an.

Pendekatan ‘irfānī adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawqqalbwijdānbashīrah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan  meliputi manhaj kasyfī dan manhaj iktisyāfīManhaj kasyfī disebut juga manhaj ma‘rifah ‘irfānī yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riyādlah dan mujāhadah. Manhaj iktisyāfī disebut juga  al-mumātsilah (analogi), yaitu  metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dst;  b) tamtsīl yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) shūrah dan asykāl. Dengan demikian,  al-mumātsilah adalah manhaj iktisyāfī dan bukan manhaj kasyfī. Pendekatan ‘irfānī juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfāniyyīn tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqīqah yang terletak di balik syarī‘ah, dan yang bāthin (al-dalālah al-isyārah aw al-ramziyyah) di balik yang zhāhir (al-dalālah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irfānī mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wīl).

Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irfānī meliputi tanzīl- ta’wīlhaqīqī-majāzīmumātsilah dan zhāhir-bāthin. Hubungan zhāhir-bāthin terbagi menjadi 3 segi: 1) siyāsī mubāsyar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafzh kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-muta‘āliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.

Pendekatan ‘irfānī banyak dimanfaatkan dalam ta’wīlTa’wīl ‘irfānī terhadap al-Qur’an bukan merupakan istinbāth, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfānī yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.

Contoh konkret dari pendekatan ‘irfānī lainnya adalah Falsafah Ishrāqī yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqīqah.

Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfānī. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irfānī yang akan dikembangkan dalam kerangka ittibā‘ al-rasul.

Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfānī bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”.  Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

Implikasi dari pengetahuan ‘irfānī dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah ilāhiyyah.

 

BAB V

OPERASIONALISASI

Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatan ini pula hingga kini masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan Muslim sendiri, dan sebagian non-Muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam sejarah pemikiran Islam, di mana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman. Mereka melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini untuk memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi dan menerima antar pendekatan (al-akhdzu wa al-‘itha‘ bain al-manāhij),  kesinambungan (al-ittishāl), saling mempengaruhi (al-ihtikāk), dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istidām). Sebagaimana yang dipahami, dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan wilayah pemikiran keislaman hanya bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi problem dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas tetapi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial  keislaman serta tekanan pada nilai-nilai  pada wilayah etik dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer  perlu memahami semua realitas persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan jaman era industrialisasi dan globalisasi  budaya dan agama.

Pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasan genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society,  agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.

Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan Irfani ? Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.

Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, di mana masing-masing ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan  paralel, mengasumsikan bahwa dalam diri seorang  Muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya dan tidak “berani” memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain.

Sedangkan hubungan  linear, pada ujung-ujungnya adalah “kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang Muslim akan menepikan masukan yang diberikan/disumbangkan oleh  metodologi yang lain, karena ia telah terlanjur menyukai salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya, akan mengantarkan seorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan dimana tradisi berfikir, bayani tidak mengenal tradisi berfikir burhani atau irfani dan begitu sebaliknya.

Keduanya — baik yang paralel maupun yang linear — bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah apa yang disebut “truth claim” (klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan linear — yang mengasumsikan adanya finalitas — akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer, baru dapat mengantarkan seorang Muslim pada pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan “kematangan religiusitas” seseorang, apalagi kelompok. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga metodologi yang ada yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan angin segar dilingkungan komunitas Muhammadiyah.

Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan bayaniburhani maupun irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas — untuk kasus-kasus tertentu — hanya mengantarkan seseorang dan kelompok Muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.

 

BAB VI

PENUTUP

  1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat.
  2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini tetap berlaku.

diposting ulang oleh pcm bengkong

sumber: https://tarjih.or.id/manhaj-tarjih-muhammadiyah/

Sejarah Majelis Tarjih

Sejarah Majelis Tarjih

015ae25e4cca41abeea3beh4y-109022

BAB I

ORGANISASI DAN SEJARAH MAJLIS TARJIH*

 

A. MUHAMMADIYAH SELAYANG PANDANG

Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada, termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam, dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai standard Islam yang benar.1

Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-pikiran abstrak tetapi diungkapkan secara nyata dan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M.

Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH. Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta.KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli berbunyi (dengan ejaan baru):

Maka perhimpunan itu maksudnya :

a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.

b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.3

Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.

Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah  ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy: Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan” adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :

Pertama: berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.

Kedua: berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.

Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.4

Dapat disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.

Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan menegakkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud masyarakat Islam sebenar-benarnya.

Islam sebagai agama terakhir, tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan. Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari pemikiran perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai karya amal shaleh.5

Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.

1. Bidang Keagamaan

Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.6

Di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.

Dalam masalah aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.7

Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya disebut pada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama. Memang di Indonesia keadaan ini terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang nampak adalah serapan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.

Di antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat, berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40, ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum) dalam hal-hal yang berhubungan dengan  takhayul, misal untuk menolak pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan sebagainya.8

Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas banyak orang Islam yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk amalan-amalan keagamaan, atau setidak-tidaknya hal tersebut tidak bertentangan.

Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.

Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.

Usaha Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha pemurnian tersebut antara lain dapat disebut :

  1. Penentuan arah kiblat yang tepat dalam bersembahyang, sebagai kebalikan dari kebiasaan sebelumnya, yang menghadap tepat ke arah Barat.
  2. Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
  3. Menyelenggarakan sembahyang bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai ganti dari sembahyang serupa dalam jumlah jama’ah yang lebih kecil, yang diselengarakan di Masjid.
  4. Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan korban pada hari raya tersebut di atas, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat, yang dapat dibandingkan sebelumnya dengan memberikan hak istimewa dalam persoalan ini pada pegawai atau petugas agama (penghulu, naib, kaum. modin, dan sebagainya).
  5. Penyampaian khutbah dalam bahasa daerah, sebagai ganti dari penyampaian khutbah dalam bahasa Arab.
  6. Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat politheistis darinya.
  7. Penyerderhanaan makam, yang semula dihiasi secara berlebihan.
  8. Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
  9. Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib, yang dimiliki oleh para kyai/ulama tertentu, dan pengaruh ekstrim dari pemujaan terhadap mereka.
  10. Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan perempuan dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.9

Dalam rangka usaha tersebut, tidak sedikit rintangan yang dialami. Beberapa tafsir Muhammadiyah tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits menimbulkan debat theologis di antara ulama.Tetapi kemudian, beberapa hal yang dipelopori oleh Muhammadiyah menjadi umum di kalangan umat Islam di Indonesia.10

Untuk membahas, apakah adat istiadat/tradisi serta kepercayaan berlaku di masyarakat itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits atau tidak, dalam Muhammadiyah dibicarakan oleh suatu lembaga yang bernama “Lajnah Tarjih”. Tarjih ini adalah merupakan realisasi dari prinsip, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.

Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah   ke- XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur.11

Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas syari’ah12, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh13. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, bayi tabung, bank dan lain-lain.

2. Bidang Pendidikan

Dalam kegiatan pendidikan dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam, pendidikan mempunyai arti penting, karena melalui inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.14

Pembaharuan pendidikan ini meliputi dua segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksud K.H. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.15

Gagasan pendidikan Muhammadiyah adalah untuk mendidik sejumlah banyak orang awam dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam usaha merealisasi gagasan tersebut, Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan Ahmad Dahlan, telah berusaha keras untuk mengawinkan antara dua sistim pendidikan, pesantren (pendidikan agama pedesaan di bawah tuntunan kyai/ulama) dan sekolah model barat, dengan menghilangkan kelemahan dari keduanya. Menurut Muhammadiyah, pendidikan pesantren tradisional membutuhkan waktu terlalu banyak bagi santri untuk menyelesaikannya, juga kurang adanya sistim kelas atau penjenjangan. Pesantren biasanya hanya terbatas pada sejumlah kecil mata pelajaran tertentu, sehingga santri harus memasuki dan tinggal di beberapa pesantren agar sempurna ilmunya. Pesantren tradisional tidak cukup membekali santrinya dalam memecahkan masalah-masalah keduniawian, karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran sekuler. Di pihak lain, pendidikan model Barat hanya mengajarkan ketrampilan praktis, pengetahuan dan ilmu umum, tetapi tidak mengajarkan ketrampilan akhlak, budi pekerti, dengan bersandar kepada ajaran Islam. Muhammadiyah merasa perlu menggabungkan keduanya : pendidikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.16 Atau dengan kata lain, bahwa dengan sistim pendidikannya itu, Muhammadiyah ingin membentuk ulama intelek dan atau intelek yang ulama.

Dengan mengambil unsur-unsurnya yang baik dari sistim pendidikan Barat dan sistim pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil membangun sistim pendidikan sendiri, seperti sekolah model Barat, tetapi dimasuki pelajaran agama di dalamnya, sekolah dengan menyertakan pelajaran sekuler, bermacam-macam sekolah kejuruan dan lain-lain.

Sedang dalam cara penyelenggaraannya, proses belajar mengajar itu tidak lagi dilaksanakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung khusus, yang di lengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, tidak lagi duduk di lantai.

Selain pembaharuan dalam lembaga pendidikan formal, Muhammadiyah pun telah memperbaharui bentuk pendidikan tradisional non formal, yaitu pengajian. Semula pengajian di lakukan di mana orang tua atau guru privat mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an dan beribadah. Oleh Muhammadiyah diperluas dan pengajian disistematiskan ke dalam bentuk pendidikan agama non formal, di mana pesertanya lebih banyak juga isi pengajian diserahkan pada masalah-masalah kehidupan sehari-hari umat Islam.

Begitu pula Muhammadiyah dalam usaha pembaharuan ini telah berhasil mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti Muhammadiyah telah memelopori mendirikan Badan Penyuluhan Perkawinan di kota-kota besar. Dengan menyelenggarakan pengajian dan nasihat yang bersifat pribadi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.

3. Bidang Kemasyarakatan

Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang ada kaitannya dengan bidang sosial, seperti prosedur penerimaan dan pembagian zakat ditangani sepenuhnya oleh P.K.U., yang sekaligus berwenang sebagai badan ‘amil.18

Usaha pemaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1923. Ide di balik pembangunan dalam bidang ini karena banyak di antara orang Islam yang mengalami kesengsaraan, dan hal ini merupakan kesempatan bagi kaum muslimin untuk saling tolong-menolong.

Perhatian pada kesengsaraan umum dan kewajiban menolong sesama muslim, tidak hanya sekedar karena rasa cinta kasih pada sesama, tetapi juga ada tuntunan agama yang jelas untuk beramar ma’ruf. Sebagai perwujudan sosial dari semangat beragama. Hal ini merupakan gerakan sosial dengan ilham keagamaan.19 Contohnya ialah pengamalan firman Tuhan dalam Surat Al-Ma’un (terjemahannya) :

“Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tiada menganjurkan menyantuni orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya’ dan tiada mau menolong dengan barang-barang yang berguna.”

Ajaran ini direalisasikan oleh Muhammadiyah melalui pendirian rumah yatim, klinik, rumah sakit dan juga melalui pembaharuan caa mengumpulkan    dan mendistribusikan zakat.

Dapatlah disimpulkan, bahwa pembaharuan sosial kemasyarakatan yang dilakukan Muhammadiyah, merupakan salah satu wujud dari ketaatan beragama, dalam dimensi sosialnya, atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan keagamaan.

B. ORGANISASI MAJLIS TARJIH

1. Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih

Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih adalah dua istilah yang selalu dihubungkan kepada lembaga ketarjihan dalam persyarikatan Muhammadiyah, terutama sejak diterbitkanya surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah   No. 5/PP/1971, tentang Qa’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Akan tetapi istilah yang kedua, yaitu Majlis Tarjih lebih populer dan lebih banyak dikenal masyarakat umum dibandingkan dengan istilah Lajnah Tarjih. Atau barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa orang umum hanya mengenal istilah Majlis Tarjih saja sebagai sebutan yang dihubungkan dengan Lembaga Ketarjihan Muhammadiyah. Sebab mengapa istilah Majlis Tarjih lebih populer, mungkin dapat dikembalikan kepada kenyataan, bahwa istilah tersebut merupakan istilah historis yang digunakan untuk menyebut lembaga Ketarjihan Muhammadiyah, pada waktu mulai pertama lahirnya lembaga tersebut, dan pada waktu itu tidak ada pembedan antara Majlis dengan Lajnah tarjih. Pembedaan itu timbul pada masa yang jauh terkemudian.

Sebutan Lajnah Tarjih dengan Majlis Tarjih sebagaimana dimaksud oleh Qo’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971 yang berlaku sekarang, walaupun dihubungkan kepada lembaga yang sama, namun digunakan untuk menyebut aspek yang sangat berbeda seperti sebentar lagi akan dijelaskan. Akan tetapi perbedaan pengertian kedua istilah itu tidak selalu mudah dipahami. Kalangan Muhammadiyah dan bahkan orang-orang Majlis Tarjih sendiri menggunakan kedua istilah tersebut di atas, tanpa membedakan pengertian dan ada pula yang mencampur-adukkannya. Beberapa tokoh Majlis Tarjih dalam tulisan-tulisan mereka, kadang–kadang menggandengkan kedua istilah itu secara bersama-sama, dengan menggunakan garis miring. Misalnya, Sekretaris Majlis Tarjih menulis : “III. PERBANDINGAN LAJNAH TARJIH/ MAJLIS TARJIH DENGAN MAJLIS-MAJLIS YANG LAIN”20. Begitu pula ketua Majlis Tarjih pernah mengatakan dalam salah satu pidatonya :

Perlu kami sampikan di sini, bahwa Majlis Tarjih/Lajnah Tajih, dalam menyelidiki dan membahas masalah Agama, dalam rangka untuk mendapatkan sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dengan tidak meninggalkan pertimbangan akal yang sehat. Dalam hal ini Majlis Tarjih/Lajnah Tarjih tetap berpendirian, bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.21

Kedua kutipan di atas jelas-jelas mengidentikkan Lajnah Tarjih dengan Majlis Tarjih.

Sementara itu beberapa responden yang diwawancarai dalam rangka penelitian ini, memberikan keterangan yang berbeda-beda tentang pengertian khususnya Lajnah Tarjih. Salah seorang menyatakan, bahwa Lajnah Tarjih adalah Majlis Tarjih untuk tingkat daerah. Sedang Majlis Tarjih untuk tingkat pusat. Ini sebenarnya memang betul, akan tetapi pengertian itu dipakai dalam Qaidah tarjih tahun 1961 yang sudah tidak berlaku lagi sekarang. Adapun dalam Qaidah terbaru yang sekarang ini berlaku, yaitu Qaidah terbaru yang sekarang ini berlaku, yaitu Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, pengertian akan dijelaskan. Di samping itu ada pula responden yang mengatakan bahwa Lajnah Tarjih adalah sidangnya para ulama22.

Selanjutnya dalam penerbitan-penerbitan Muhammadiyah juga ditemui kenyataan tidak dibedakannya pengertian Majlis dengan Lajnah Tarjih. Misalnya dalam Suara Muhammadiyah di temukan “Demikian setelah itu dan hingga kini sebutan Mu’tamar bagi musyawarah besar Majlis Tarjih telah dan tetap dipergunakan”23. Kutipan ini menyatakan, bahwa Mu’tamar adalah musyawarah besar Majlis Tarjih. Padahal sebetulnya kalau kita kembali kepada Qaidah yang sekarang berlaku, maka akan kita temukan bahwa Mu’tamar itu adalah musyawarah besar Lajnah Tarjih dan bukan Majlis Tarjih 24. Jadi kutipan di atas menggunakan istilah Majlis Tarjih untuk menunjuk Lajnah Tarjih. Hal yang sama kita temukan dalam buku Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah.  Dalam “Muqaddimah” untuk cetakan ketiga, Pimpinan Pusat Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih menulis : “Dengan mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala kami ketengahkan kepada para pembaca cetakan ketiga dari kitab Himpunan Putusan Majlis Tarjih untuk memenuhi ……”25. Di sini putusan Mu’tamar dinamakan putusan Majlis Tarjih. Penamaan ini bila dikembalikan kepada Qaidah 1971 barangkali tidak tepat, sebab keputusan itu ditelorkan oleh Mu’tamar Lajnah Tarjih, yang dihadiri oleh anggota-anggota Lajnah Tarjih di samping anggota-anggota Majlis Tarjih sendiri. Dalam Qaidah sendiri tidak ditemukan istilah “Putusan Majlis Tarjih”.

Ilustrasi di atas memperlihatkan, bahwa :

  1. Sebutan Majlis Tarjih lebih populer.
  2. Karena begitu populernya, orang hampir-hampir tak mengenal istilah Lajnah Tarjih, dan kadang-kadang untuk menyebut lembaga itu, digunakan istilah Majlis Tarjih.

Demikian sekedar gambaran, bahwa seringkali terjadi istilah Majlis Tarjih ditempatkan pada Lajnah Tarjih, dan istilah Lajnah Tarjih hampir-hampir tidak muncul ke permukaan. Supaya tidak mengacaukan dan supaya bisa menempatkan pemakaian kedua istilah di atas dalam proporsinya, maka perlu diketahui pengertiannya.

Untuk mengetahui pengertian kedua istilah ini dan sekaligus mengetahui perbedaannya, maka harus melihat kepada aturan hukum yang mengaturnya, dalam hal ini Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 5/ PP/ 1971, tentang  : Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah.

Pasal 1 Qaidah itu memyebutkan : Lajnah Tarjih adalah lembaga persyarikatan dalam bidang agama.

Lebih lanjut pasal 3 ayat (1) menyebutkan : Lajnah Tarjih dibentuk di tingkat Pusat, Wilayah dan Daerah, oleh Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat, dengan sebutan :

  1. Lajnah Tarjih Pusat
  2. Lajnah Tarjih Wilayah
  3. Lajnah Tarjih Daerah

Dari dua pasal di atas dapatlah diketahui, bahwa Lajnah Tarjih itu ialah lembaga persyarikatan dalam bidang agama, dan lembaga ini ada baiknya di tingkat Pusat, Wilayah maupun Daerah.

Adapun Majlis Tarjih yaitu seperti apa yang disebutkan antara lain dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, yaitu :

  1. Pimpinan Lajnah Tarjih.

a. Majlis Tarjih Pusat memimpin Lajnah Tarjih pusat, terdiri sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang.

Kemudian ayat (2) berbunyi : “Apalah dipandang perlu, anggota persyarikatan dapat diangkat sebagai anggota Majlis Tarjih”.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa kalau Lajnah Tarjih itu lembaganya, sedang Majlis Tarjih adalah pengurusnya, yaitu badan pengurus yang bertugas memimpin lembaga yang bernama Lajnah Tarjih di tingkatnya masing-masing.

2. Dasar Hukum yang mengatur Lajnah Tarjih

Lajnah Tarjih sebagai suatu bagian dari persyarikatan yang bertugas mengurusi keagamaan, diatur dalam suatu Qaidah yang disebut Qaidah Lajnah Tarjih yang disebut Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Qaidah ini dibuat oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan ditelorkan dalam bentuk SK (Surat Keputusan).

Adapun sekarang ini Qaidah yang terbaru adalah Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971 yang ditetapkan dengan SK PP Muhammadiyah No. : 5/ PP/ 1971 tanggal 9 Rabi’ul Awwal 1391 H / 4 Mei 1971. Qaidah ini merupakan pengganti Qaidah sebelumnya yaitu Qaidah tahun 1961.26

Aturan lain yang mengatur Lajnah Tarjih ini ialah SK. PP Muhammadiyah No. : 5/PP/1974 tanggal 3 Rajab 1394 / 22 Juli 1974, tentang Majlis dan Bagian serta pokok tugas,  hak dan wewenang serta kewajibannya 27.

Sebelum diganti dengan Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, dalam sejarah lembaga ketarjihan Muhammadiyah sebelumnya telah berlaku beberapa Qaidah Tarjih, antara lain Qaidah Tarjih tahun 1952 dan Qaidah Tarjih tahun 1961.28

3. Tugas dan Wewenang Lajnah Tarjih dan Majlis Tarjih.

Dari mulai diadakan/dibentuk sampai sekarang ini tugas Lajnah Tarjih telah mengalami perkembangan, perubahan dan peningkatan. Pada mulanya lembaga ini -sebagaimana dikemukakan dalam alasan pembentukannya -bertugas khusus untuk membahas masalah-masalah agama. Dan dalam penerangan tentang hal tarjih oleh PP. Muhammadiyah pada tahun 1936 terdapat kata-kata : “kita mendirikan Majlis Tarjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah manakah yang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al-Qur’an dan Hadits”.29

Adapun tugasnya sekarang ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Lajnah Tarjih mempunyai enam tugas, yaitu:

  1. Menyelidiki dan memahami Ilmu Agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
  2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah dan Muamalah duniawiyat.
  3. Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu.
  4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
  5. Mempertinggi mutu ‘ulama.
  6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.

Jadi dengan melihat apa yang menjadi tugas pokok Lajnah Tarjih di atas jelaslah apa yang menjadi wewenangnya, yaitu masalah-masalah keagamaan.

Adapun tugas dari Majlis Tarjih ialah sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 SK. PP Muhammadiyah No.: 5/PP/1974 adalah sebagai berikut:

  1. Meneliti Hukum Islam untuk mendapatkan kemurniannya.
  2. Memberi bahan dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanan dan menjalankan pimpinan serta memimpin pelaksanaan ajaran dan hukum Islam kepada anggota.
  3. Mendampingi Pimpinan Persyarikatan dalam memimpin anggota dalam melaksanakan ajaran dan hukum islam.

Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa tugas Majlis Tarjih ialah: melaksanakan tugas Lajnah Tarjih sehari-hari dalam membantu Pimpinan Persyarikatan.

Adapun tugas yang lain dari Majlis Tarjih ialah:

  • Ketua Majlis Tarjih atau anggota Majlis Tarjih yang diberi kuasa olehnya wajib menghadiri rapat-rapat/sidang-sidang Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan. (Pasal 5 ayat 6 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah).
  • Setiap akhir tahun harus membuat laporan tentang kegiatannya dan hasil kerjanya yang disampaikan kepada:
  1. Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.
  2. Anggota Majlis Tarjih (Pasal 5 ayat 7 Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah jo pasal 11 SK PP. Muhammadiyah No.: 5/PP/74).

Dalam melaksanakan tugasnya itu, Majlis Tarjih sekarang ini dilengkapi dengan seksi-seksi, yaitu: Seksi Umum, Seksi Hukum, Seksi Falak dan Seksi Perpustakaan.30

Begitu pula Majlis Tarjih dalam mengemban amanat, selaku pengurus Lajnah Tarjih yang salah satu tugasnya dari Lajnah Tarjih ini ialah “mempertinggi mutu ulama”, telah berusaha dengan cara membentuk kader-kader tarjih. Hal ini pernah diadakan di Yogyakarta dengan mengadakan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968, sebagai pelaksanaan dari amanat sidang tanwir Muhammadiyah yang memerintahkan supaya membuat suatu lembaga untuk membina lembaga ulama tarjih. Dalam keputusan itu ditetapkan bahwa tiap-tiap wilayah harus mengirim satu orang utusan dan biayanya ditanggung oleh wilayah bersangkutan. Mereka digodog selama tiga tahun, salah seorang pendidiknya ialah Bapak Ummar Affandi, Yogyakarta. Akan tetapi yang bisa mengikuti sampai selesai hanya 5 orang saja, antara lain Sdr. Suprapto, Direktur Mu’alimin Yogyakarta sekarang.30

4. Keanggotaan Lajnah Tarjih.

Tentang siapa saja yang berhak menjadi anggota Lajnah Tarjih, ini diatur oleh pasal 4 Qa’dah Lajnah  Tarjih Muhammadiyah tahun 1971. Ayat (1) dari pasal ini menyebutkan :

“Anggota Lajnah Tarjih ialah Ulama (laki-laki/perempuan) Anggota Persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih”.

Menurut salah seorang responden yang diwawancarai menyatakan bahwa yang dimaksud “mempunyai kemampuan bertarjih” diisyaratkan harus bisa membaca kitab dan memahaminya dan paling tidak (waktu dahulu) dapat membaca Kitab Subulus Salam.32

Sedang prosedur pengangkatannya diatur dalam ayat (2) “Anggota Lajnah Tarjih diangkat dan ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan :

  1. Anggota Lajnah Tarjih Pusat diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah wilayah, masing-masing wilayah mengusulkan sekurang-kurangnya 2 (dua) dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang dari antara calon hasil Musyawarah Lajnah Tarjih Wilayah.
  2. Anggota Lajnah Tarjih Wilayah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Daerah dari antara calon-calon hasil Musyawarah Lajnah Tarjih Daerah.
  3. Anggota Lajnah Tarjih Daerah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang diusulkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Cabang dari ulama-ulama di Cabang yang bersangkutan.

Namun demikian dari anggota-anggota yang telah ditentukan dalam ayat (2) di atas jika masih dirasa kurang atau apabila diperlukan, maka Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat berhak untuk menambah anggota Tarjih. Ketentuan ini diatur dalam ayat (4).

Kapan anggota Lajnah Tarjih yang telah diangkat itu berhenti? Ini diatur dalam ayat (5), yaitu :

  1. Meninggal dunia
  2. Permintaan sendiri
  3. Keputusan Pimpinan Persyarikatan.

5. Tingkatan-tingkatan Lajnah Tarjih.

Menurut pasal 3 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1971, Lajnah Tarjih dibentuk di tiga tingkat, yaitu di tingkat Pusat disebut Lajnah Tarjih Pusat, di tingkat Wilayah disebut Lajnah Tarjih Wilayah dan ditingkat Daerah disebut Lajnah Tarjih Daerah.

Untuk tingkat Cabang dan Ranting tidak dibentuk Lajnah Tarjih, dan untuk ke-Tarjihan di tingkat Cabang dan Ranting ini diurus oleh Lajnah Tarjih Daerah (pasal 3 ayat 2).

Seperti telah disebutkan bahwa Lajnah Tarjih itu dipimpin oleh Majlis Tarjih maka dengan demikian (sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih), ada :

  • Majlis Tarjih Pusat memimpin Lajnah Tarjih Pusat yang terdiri dari sekurang-kurangnya 9 orang.
  • Majlis Tarjih Wilayah memimpin Lajnah Tarjih Wilayah, terdiri sekurang-kurangnya 7 orang, dan
  • Majlis Tarjih Daerah yang memimpin Lajnah Tarjih Daerah, terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang.

Majlis tarjih di tiap-tiap tingkat ini masing-masing diangkat dan ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan. Ayat (2) pasal ini menyebutkan : dipandang perlu, anggota persyarikatan dapat diangkat sebagai Anggota Majlis Tarjih.

Lamanya masa kepengurusan Majlis Tarjih ini adalah selama masa kepengurusan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.

Lajnah Tarjih di masing-masing tingkat sama-sama berhak mengadakan musyawarah. Untuk ini pasal 6 dari Qaidah Lajnah Tarjih, mengatur lebih lanjut sebagai berikut :

  1. Mu’tamar : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Pusat, yang diselenggarakan paling tidak dalam waktu tiga tahun sekali.
  2. Musyawarah Wilayah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih tingkat Wilayah, diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun sekali; dan
  3. Musyawarah Daerah : Yaitu Permusyawaratan Lajnah Tarjih di tingkat Daerah, yang diselenggarakan sekurang-kurangnya setahun dua kali.

Jadi apabila Lajnah Tarjih Pusat mengadakan permusyawaratan ini dinamakan “Muktamar”, sedang apabila Lajnah Tarjih tingkat Wilayah dan Daerah mengadakan Permusyawaratan, masing-masing disebut “Musyawarah Wilayah” dan “Musyawarah Daerah”. Untuk mengadakan permusyawaratan itu haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan.

                Adapun yang berhak menghadiri Permusyawaratan ini ialah :

  • Para Anggota Lajnah Tarjih yang bersangkutan
  • Anggota Majlis Tarjih
  • Mereka yang dipandang perlu oleh Majlis Tarjih dengan persetujuan Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.

                Musyawarah Lajnah Tarjih dipimpin oleh Majlis Tarjih yang bersangkutan.

                Kapan keputusan musyawarah berlaku? Ini disebutkan dalam pasal 7, yaitu : Keputusan Musyawarah baru berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Persyarikatan tingkat yang bersangkutan (ayat 2).

                Apabila Lajnah Tarjih di tingkatan yang lebih rendah dalam Keputusan Permusyawaratannya berlainan dengan Keputusan Musyawarah yang lebih tinggi, ini harus dilaporkan kepada Majlis Tarjih Pusat (ayat 4).

           ������������������������������������������������������������������    Sedang ayat 5 dari pasal 7 ini mengatur pembatalan Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih, dimana disebutkan sebagai berikut : Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih hanya dapat dirubah atau dibatalkan oleh Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih yang setingkat atau tingkat diatasnya.

  1. Daya ikat hasil Musyawarah Lajnah Tarjih.

               Di atas telah disebutkan bahwa Keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih baru berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Persyarikatan. Namun demikian meskipun keputusan tersebut sudah ditanfidzkan hanya mempunyai daya ikat kepada Persyarikatan saja, sedang kepada individu-individunya tidaklah mengikat. Hal ini dikarenakan agama itu adalah keyakinan seseorang kepada Tuhannya. Jadi apa yang diyakini itulah yang dilaksanakan.

               Untuk lebih jelasnya bisa dicontohkan sebagai berikut :

Seandainya Pengurus Muhammadiyah di suatu desa mengadakan sholat Idul Fitri atau Idul Adha, maka ini harus diadakan di lapangan, sebab Tarjih menetapkan sholat Id itu di lapangan. Tetapi apabila ada salah seorang anggota persyarikatan mau melakukan sholat Id tersebut, maka dia bebas apa mau di lapangan atau di Masjid, artinya dia tidak terikat oleh putusan Lajnah Tarjih.33

               Demikian pula meskipun Lajnah Tarjih itu adalah lembaga Persyarikatan yang tertinggi dalam bidang Agama, tetapi baik fatwa-fatwanya maupun keputusannya (sebenarnya Keputusan Lajnah Tarjihpun adalah fatwa kepada Pengurus Persyarikatan) tidaklah mengikat kepada Pengurus Persyarikatan. Artinya pengurus tidaklah harus selalu mentanfidzkan apa yang menjadi keputusan Lajnah Tarjih, tetapi bisa saja pimpinan peryarikatan atas tetapi bisa saja Pimpinan Persyarikatan atas kebijaksanaannya menangguhkan putusan Lajnah Tarjih atau mengembalikan kepada Lajnah Tarjih untuk ditarjihkan lagi.

               Misalnya keputusan Mu’tamar Lajnah Tarjih di Malang (tahun 1983) tentang: “Hari Raya  Islam itu adalah Idul Fitri dan Idul Adha”, tidak ditanfidzkan oleh PP. Muhammadiyah, sebab sudah berlaku. Dan akan merugikan perjuangan umat Islam dalam menyiarkan agama dan kebijaksanaan da’wah kalau hari-hari besar lainnya dikurangi. Misalnya lagi : Keputusan Mu’tamar Lajnah Tarjih tanggal 23-28 April 1972 di Poncongan, Pekalongan ditanfidzkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 5 April 1973 dengan catatan bahwa masalah Nisab  standard zakat dengan emas belum ditanfidzkan dan dikembalikan kepada Majlis Tarjih Pusat untuk dibicarakan lagi dan diberi dalil-dalilnya sebagaimana yang lazim dilakukan Mu’tamar Tarjih sehingga keputusan yang lama tetap berlaku.34

  1. Hubungan Tata Kerja antara Majlis Tarjih dengan Majlis-Majlis yang lain.

Tentang hubungan tata kerja antara Majlis Tarjih dengan Majlis-Majlis yang lain diatur dalam pasal 7 SK.PP. Muhammadiyah No. 5/PP/74, yaitu Sebagai berikut :

  1. Untuk kepentingan teknik pelaksanaan tugas kewajibannya, Majlis dan Bagian dapat berhubungan ke atas dan ke bawah lewat Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
  2. Majlis atau Bagian dapat behubungan dan bekerja sama dengan Majlis dan atau Bagian lain dalam lingkungannya, dengan sepengetahuan Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
  3. Untuk berhubungan dan bekerja sama antara Majlis dan atau Bagian dengan pihak lain di luar Persyarikatan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dan atas nama Pimpinan Persyarikatan yang bersangkutan.
  1. SEJARAH MAJLIS TARJIH
    1. Pembentukannya

Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan Kongres ke-16 organisasi ini35 di Pekalongan pada tahun 192736 pada periode kepengurus-an K.H. Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)37. Dalam kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy 38. Usul yang diajukan Pimpinan Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Mas Mansur (1896-1946) yang waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya39. Ide tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun 1928.

Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan ketiga majlis tersebut di atas diterima secara aklamasi oleh para peserta, dengan mengganti istilah Majlis Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan “sejak itulah berdirinya Majlis Tajrih”40.

Untuk melengkapi kepengurusan dan pembuatan rancangan qaidahnya, dibentuk sebuah komisi yang beranggotakan tujuh orang ulama, yaitu :

  1. H. Mas Mansur, Surabaya
  2. R. Sultan Mansur, Maninjau (Sumatra Barat)
  3. Mochtar, Yogyakarta.
  4. A. Mukti, Kudus
  5. Kartosudharmo, Betawi
  6. Kusni
  7. Junus Anis, Yogyakarta41.

Hasil pekerjaan komisi ini dibawa ke dalam kongres berikutnya42, yaitu kongres ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta43. Kongres tersebut mengesahkan Qaidah Majlis Tarjih dan membentuk susunan pengurusnya yang pertama44 dengan :

  1. H Mas Mansur, sebagai ketua;
  2. H.R. Hajid, sebagai Wakil Ketua;
  3. M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris45;
  4. Jazari Hisyam sebagai Wakil Sekretaris;
  5. H. Badawi, K.H. Hanad, K.H. Washil, K.H. Fadlil dan lain-lain, kesemuanya sebagai anggota46.

Pengurus ini, setelah terbentuknya segera bekerja dan membuat persiapan bahan-bahan dari masalah yang akan ditarjih. Pada kongres ke-18 di Solo, yang berlangsung dari tanggal 30 Januari sampai dengan tanggal 5 Februari 1929, Majlis Tarjih pertama kalinya mengadakan sidang khusus di luar sidang-sidang Kongres Muhammadiyah47, dan berhasil mengambil keputusan tentang “Kitab Iman” dan “Kitab Shalat”48. Kitab Iman berisi keputusan tentang pokok-pokok akidah yang benar, yaitu mengenai rukun iman yang enam, ialah : percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat, percaya kepada Kitab-kitab Suci, percaya kepada Rasul-rasul, percaya kepada Hari Kemudian, dan percaya kepada Qadla dan Qadar yang baik dan buruk. Di samping itu juga ada keputusan tentang masalah mengimani kenabian sesudah Muhammad. Sedang “Kitab Shalat” berisi keputusan tentang tata cara mengerjakan shalat.

Kebanyakan penulis-penulis Muhammadiyah berpendapat dan menyatakan bahwa sejak kongres ke-16 tahun 1927 itulah mulai berdirinya Majlis Tarjih, seperti di atas tadi sudah dikutip sebagai salah satu contoh. Pada hal dari apa yang sudah dipaparkan terdahulu, jelas bahwa pada tahun 1927 dalam kongres ke-16 itu, harus ada berupa keputusan pembentukan majlis-majlis; salah satunya Majlis Tarjih dan pembentukan komisi perumus qaidah dan pembentukan pengurus. Baru pada tahun 1928 di Jogjakarta, dalam kongers ke-17, Pengurus dan Qaidah Majlis Tarjih itu dibentuk. Jadi atas dasar ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara formal, Majlis Tarjih itu terbentuk pada tahun 1928 di Jogjakarta.

  1. Ketarjihan sebelum terbentuknya Majlis Tarjih

Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa pembentukan Majlis Tarjih terlambat 15 tahun dari Muhammadiyah sendiri, yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, atau 18 November 1912, oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) seperti telah diuraikan terdahulu. Ini boleh jadi menimbulkan pertanyaan, bagaimana soal-soal ketarjihan dalam Muhammadiyah sebelum adanya Majlis Tarjih, dan apakah hal ini tidak merupakan suatu hal yang aneh dalam hubungannya dengan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, yang tiada henti-hentinya menyerukan ijtihad dan melarang taklid?

Perlu ditegaskan, bahwa terlambatnya pembentukan Majlis Tarjih dalam riwayat Muhammadiyah sebenarnya tidak merupakan suatu keganjilan dan juga bukan karena dari semula Muhammadiyah kurang memperhatikan bidang hukum-hukum agama. Justru sebaliknya, Muhammadiyah dari mulai didirikan adalah gerakan agama dan berasal dari agama pula. Walaupun Majlis Tarjih belum ada secara resmi pada 15 tahun pertama perkembangannya, hal itu tidaklah berarti bahwa pada masa-masa tersebut persyarikatan ini sepi dari aktivitas ketarjihan; sebagai “gerakan modernis Islam yang didedikasikan untuk melakukan pembaharuan kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat muslim���49, Muhammadiyah terus-menerus dituntut untuk memberi pemecahan terhadap masalah-masalah agama, guna dikembalikan kepada tuntunan sebenarnya dari Al-Qur���an dan Sunnah Rasul s.a.w., serta masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang harus digerakkan dengan berlandaskan agama.

Semendjak Muhammadijah didirikan, dasar dan haluannja penuh diletakkan pada adjaran Islam. Hingga segala usaha dan pekerdjaannja sepenuhnja djuga dipandang dari hukum Islam. Malah lebih dari itu, dasar pokok dari gerakan kita ialah gerakan tajdid Islam, sehingga dengan sendirinja jang mula-mula dipeladjari dan diperhatikan adalah hukum-hukum Islam pula, …maka bukan hanja merupakan kebenaran sadja, apabila pendiri dan pemimpin Muhammadijah jang mula-mula adalah seorang ulama, seorang ulama dalam arti jang sebenarnja; …50

Oleh karena itu tugas bertarjih senantiasa dilakukan oleh ulama-ulama Muhammadiyah yang kompeten dan telah menghasilkan keputusan-keputusan pada waktu dimana belum dibentuk suatu lembaga khusus yang membidangi masalah agama dalam organisasi Muhammadiyah ini51. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) sendiri terlibat dalam pemecahan masalah-masalah agama tersebut sebagian tampak dalam keputusannya tentang pembetulan arah kiblat dan cara penentuan waktu hari raya. Selama periode kepemimpinannya, pendapatnya mewakili dan diidentikkan dengan pendirian resmi organisasi52.

Barangkali menarik untuk dikemukakan di sini, guna menambah kejelasan uraian di atas, beberapa contoh keputusan yang diambil oleh Muhammadiyah tentang masalah agama, pada periode sebelum adanya Majlis Tarjih. Antara lain adalah sembahyang hari raya di tanah lapang, sesuai dengan tuntunan Rasulullah yang selalu mengerjakannya di tanah lapang selama tidak ada halangan seperti hujan. Sebelumnya, umat Islam bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negeri-negeri Islam lainnya, mengerjakan shalat ‘Id di dalam masjid, dengan alasan pendapat Imam Madzhab Empat. Tetapi setelah diselidiki ternyata bahwa Imam Syafi’iy mengutamakan dalam masjid karena kemuliaan masjid itu, dan selagi dapat menampung jama’ah sebanyak mungkin; dan beliau mengutamakan di lapangan jika masjid tidak mampu menampung jumlah jama’ah. Sedang kenyataan menunjukkan bahwa masjid selalu tidak cukup luas untuk menampung pengunjungnya, apalagi pada hari raya di mana seluruh kaum muslimin, tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya melakukan shalat ‘Id.

Shalat ‘Id di lapangan, pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah adalah di lapangan ASRI sekarang, di Jogjakarta53 pada hari raya ‘Idul Fitri tahun 1343 H, atau 1925 M dan ���Idul Adha pada tahun yang sama. Peristiwa ini sangat menggemparkan dan mendapat reaksi dari “kaum kolot” sebagaimana juga dari pihak pemerintahan kolonial Hindia Belanda atas dasar alasan ketertiban dan keamanan54.

Reaksi ini malah disambut oleh Muhammadiyah dengan keputusan harus “Mengadakan shalat Hari Raja di tanah lapang, di mana-mana Moehammadijah ada”. Keputusan ini diambil dalam kongres ke-15 di Surabaya – sebuah kongres yang pertama dilakukan di luar Jogjakarta – pada tahun 1926, yaitu setahun sebelum terbentuknya Majlis Tarjih55.

Kongres yang sama juga mengambil keputusan tentang :

  1. Mengusahakan agar dana masjid sebagian dapat digunakan untuk membiayai panti asuhan dan menyekolahkan anak-anaknya.
  2. Minta agar reglement yang mengharuskan diperiksanaya calon temanten, dicabut.
  3. Mengusahakan perbaikan cara pembagian zakat fitrah dengan memberikan tuntunan.56

Sedang kongres berikutnya, yaitu kongres ke-16 yang melahirkan keputusan pembentukan Majlis Tarjih, di antara keputusannya ialah mengusahakan agar supaya khutbah Jum’at disampaikan dalam bahasa bumiputera57.

Mengenai zakat fitrah sebelum perubahan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, pembagiannya tidak menurut tuntunan yang diajarkan melalui Al-Qur’an dan Sunnahnya, yang menghendaki disalurkannya zakat tersebut kepada asnaf delapan, yaitu fakir, miskin, petugas pengumpulnya, muallaf, untuk penebusan tawanan, orang berhutang, jalan Allah dan musafir (ibnu sabil). Pada waktu itu zakat fitrah diberikan kepada kaum, modin, naib dan penghulu. Penerimaan zakat oleh mereka itu sangat berpengaruh terhadap status ekonomi mereka. Bahkan ada diantara mereka menerima beras yang diberikan kepada tiap-tiap akhir bulan puasa itu cukup menyangga biaya hidup rumah tangga selama 6 ( enam) bulan58.

Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa pada hakekatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan merupakan titik mula kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan hanya sebagai pelembagaan secara resmi terhadap yang sudah ada sebelumnya. Tarjih sebagai kegiatan intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya untuk kemudian diproyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak dari mula berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, Tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu sendiri.

  1. Faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Majlis Tarjih.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar belakang lahirnya Majlis Tarjih, barangkali pidato K.H Fakih Usman berikut ini mengandung isyarat akan hal itu. Pidato ini disampaikan sebagai Khutbah Iftitah Pimpinan Pusat Muhammadiyah di depan Sidang Khususi Tar jih tahun 1960; ia berkata bahwa:

Kemudian tersiarlah Muhammadijah dengan tjepat sekali, memenuhi seluruh pelosok tanah air kita. Luasnja dan banjaknja usaha atau pekerdjaan jang dilakukan, mereka ke semua tjabang jang diperlukan oleh masjarakat.

Banjaknya tenaga-tenaga yang memasuki terdiri dari bermatjam-matjam pembawaan, pendidikan dan kedudukan. Semua ini menjebabkan pemerasan tenaga pimpinan jang harus mengurus dan memperhatikan banjak persoalan, yang hakekatnja bagi tenaga pimpinan untuk menguasai keseluruhan persoalan. Malah sulit djuga untuk mengetahui hubungan sesuatu persoalan dengan persoalan lainnja. Dan djuga lebih dari itu tidak lagi dapat dikuasai dengan sepenuhnja hubungan sesuatu dengan tujuan, dengan asas dasar gerakan sendiri, dengan adjaran dan hukum Islam.

Memang sebagai jang terjadi dalam kelandjutan sedjarah Islam, diduga terjadi dalam kalangan Muhammadijah mengadakan bermatjam-matjam pendidikan atau perguruan jang chusus untk memperdalam dan mempertinggi ilmu-ilmu agama. Djuga perhatian kita pada ilmu agama itu tidak sebagai jang seharusnja. Banjak dimakan oleh keperluan-keperluan lain jang bermatjam-matjam dari usaha-usaha Muhammadijah.

Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ada terdjadi peristiwa jang mengantjam timbulnja perpetjahan dalam kalangan Muhammadijah ialah peristiwa timbulnja perdebatan dan perselisihan mengenai Ahmadijah, ketika beberapa mubalighnja datang mengundjungi tempat pusat gerakan Muhammadijah.

Kejadian itulah jang akibatnja langsung menimbulkan kesadaran kita betapa djauhnya sudah tempat berdiri kita dari garis semula ditentukan. Dan kejadian itulah yang langsung menjebabkan didirikannja Majlis Tardjih.59

Dari pidato K.H Fakih Usman (1904-1968) di atas dapatlah disimpulkan adanya dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya majlis Tarjih, pertama adalah faktor yang bersifat intern, dan kedua faktor yang bersifat ekstern.

  1. Faktor intern

Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan yang berkembang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal yang timbul sebagai akibat dari perluasan dan kemajuran yang dicapai oleh persyarikatan ini.

Sebagian telah diketahui, perkembangan Muhammadiyah begitu pesat dan cepat, baik di bidang perluasan organisasi kurang dari 15 tahun Muhammadiyah telah berkembang di berbagai tempat di luar Jawa. Haji Rasul yang berkunjung di tanah Jawa pada tahun 1925 dan menemui pemimpin-pemimpin  Muhammadiyah di Yogyakarta, sekembalinya ke kampung halamannya pada tahun yang sama, memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat Minagkabau dengan jalan merubah organisasi lokal sandi Sandi Aman yang didirikannya di kampung halamannya menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Dari tanah Minang ini Muhammadiyah kemudian berkembang ke Bengkulu dan tempat-tempat lain di Sumatera, dan di Pulau Borneo, yaitu di Banjarmasin dan Amuntai.60

Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot banyak anggota itu, aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat secara hebat dan berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan pelayanan sosial, dakwah dan lain-lain aktivitas. Sekolah-sekolahnya -baik yang memakai bahasa Indonesia maupun yang memakai bahasa Belanda sebagai pengantar- memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan perpaduan antara silabus yang berisikan pendidikan umum dengan pengajaran agama, melalui pelajaran bahasa Arab dan Tafsir Al-Qur’an. Klinik-klinik, organisasi wanita dan dan pemuda serta rumah-rumah wakaf berkembang dan bertambah maju, sedang dalam bidang dakwah, misalnya khutbah-khutbah Jum’at diberikan dalam bahasa daerah dan pesan-pesan Nabi disampaikan kepada masyarakat Kaum Muslimin dalam bahasa yang dapat dimengerti dan disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia modern.

Pengelolaan anggota yang banyak dan amal usaha yang besar ini, seperti dinyatakan dalam pidato K.H Faqih Usman di atas, menguras energi pimpinan sedemikian rupa, sehingga akibatnya adalah melemahnya kemampuan kontrol pimpinan terhadap sinkronisasi penyelenggaraan amal usaha itu dengan asas yang melandasi perjuangan Muhammadiyah, yaitu Islam, dalam kemurniannya sebagai yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Sahihah. Keadaan seperti ini menuntut adanya pembidangan pembangunan risalah. Untuk membidangi masalah agama yang memberi haluan bagi perjuangan Muhammadiyah, diciptakanlah Majlis Tarjih.

Selain dari itu, Muhammadiyah adalah suatu gerakan tajdid (pembaharuan) yang lahir di tengah-tengah suasana di mana dunia Islam sebagai respon terhadap gagasan reformasi Al-Afghani dan Muhammad Abduh sedang bergerak menuju suatu keadaan baru, bahwa mereka hanya dapat bertahan apabila bisa melepaskan isolasionisme yang kaku dan sebaliknya mampu menumbuhkan kekuatan adaptasi terhadap dunia modern yang urban, rasional, individualistik dan bahkan sekuler. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah beruaha melakukan kombinasi antara diterimanya dunia modern dan metode-metode organisasi Barat yang modern dengan suatu organisasi Islam yang jelas berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha-usaha pengkombinasian ini dalam Muhammadiyah berarti penggalian hukum-hukum agama untuk mendapatkan landasan yang Islami bagi kehidupan modern yang tidak dapat terhindarkan itu. Dalam susunan demikian kehadiran Majlis Tarjih sebagai lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan ideologis keagamaan itu memang sangat diperlukan.

  1. Faktor ekstern

Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat Islam umumnya di luar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah perselisihan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqhiyah, yang biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di samping itu juga masalah ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir perempat pertama abad 20. Perselisihan dan pertentangan-pertentangan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis Tarjih yang ditugasi antara lain untuk menyelidiki berbagai macam pendapat itu, untuk diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota-anggota Muhammadiyah, dan dengan demikian perselisihan-perselisihan karena masalah khilafiyah yang telah memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat dihindarkan dalam Muhammadiyah.

Dalam Boeah Congres 26 yang diterbitkan oleh Hoofdcomite Congres Moehammadijah pada halaman 31 dijelaskan sebagai berikut :

…bahwa perselisihan faham dalam masalah agama soedahlah timboel dari dahoeloe, dari sebelum lahirnja Moehammadijah, sebab-sebabnja banjak, diantaranja karena masing-masing memegang tegoeh pendapat seorang ‘oelama atau jang terseboet di sesoatoe kitab, dengan tidak soeka menghabisi perselisihannja itoe dengan moesjawarah dan beralasan kepada Al-Qoer’an, perintah Toehan Allah dan kepada Hadiest, soennah Rasoeloellah.

Oleh karena kita choeatir, adanja pertjektjokan dan perselisihan dalam Moehammadijah tentang masalah agama itoe, maka perloelah kita mendirikan Madjlis Tardjih oentoek menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itoe yang masoek dalam kalangan Moehammadijah, manakah jang kita anggap koeat dan berdalil benar dari Al-Qoer’an dan Hadiest.61

Sebagai kita ketahui, memasuki abad ke-20 terjadi dichotomy dalam tradisi santri menjadi kaum reformis dan tradisionalis62. Kaum reformis memperkenalkan gagasan-gagasan pembaharuan yang dicetuskan di Timur Tengah, yang pada intinya berusaha merombak cara berfikir lama kaum Muslimin, yang bertaklid kepada madzhab dengan jalan membuka kembali pintu ijtihad. Gagasan ini tidak begitu mudah diterima oleh kaum tradisionalis. Bagi mereka, pemahaman Islam mutlak melalui taklid kepada madzhab. Oleh karena itu ketika kaum tradisionalis ini merasa terdesak dan mereka membentuk organisasi, maka orientasi kepada madzhab empat, khususnya madzhab Syafi’i, menjadi dasar ideologi organisasi. Pertentangan antara pendukung-pendukung gerakan modernis – Muhammadiyah adalah salah satu komponennya – di satu pihak, dengan pendukung-pendukung tradisi di pihak lain, mengambil bentuk perselisihan-perselisihan dalam furu’ fiqhiyah. Shalat hari raya di tanah lapang seperti telah digambarkan di muka adalah contoh yang paling jelas di samping masalah-masalah lainnya, seperti jumlah raka’at shalat tarawih, qunut shalat shubuh, dan lain-lain. Perselisihan-perselisihan tentang detail-detail ajaran Islam ini perlu mendapat kepastian dalam pengamalannya, bagi anggota-anggota Muhammadiyah melalui usaha-usaha pentarjihan yang ditangani oleh sebuah lembaga resmi.

Adalah teramat penting untuk diketahui, bahwa perselisihan-perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam pada tahun-tahun pergantian perempat pertama dengan perempat kedua abad ke-20, bukan hanya dalam detail-detail masalah agama, tetapi merembet kepada masalah-masalah pokok. Ini disebabkan oleh masuknya aliran Ahmadiyah ke Indonesia dan melakukan propaganda di pusat organisasi Muhammadiyah. Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang muncul di India, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang meng-claim dirinya sebagai Nabi mulai sekitar tahun 190063.

Aliran ini terbagi kepada dua bagian, Qadiyan dan Lahore. Cabang Qadian dianggap keluar dari Islam, karena mengakui adanya Nabi sepeninggal Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Sedang cabang Lahore tidak seekstrim yang pertama. Cabang Lahore ini memandang Mirza Ghulam Ahmad itu hanya sebagai pembaharu belaka.

Pada tahun 1924, dua orang propagandis cabang Lahore ini singgah di pulau Jawa, dalam suatu perjalanan ke negeri Cina. Mereka adalah Mirza Wali Ahmad Baiq dan Maulana Ahmad. Setelah melihat aktivitas missionaris Kristen di Jawa, Wali Ahmad Baiq sangat terkesan dan memutuskan untuk menyiarkan ajaran Ahmadiyah dengan jalan jihad damai. Di Jogjakarta dia dapat mendekati kalangan reformis. Sarekat Islam memberikan dukungan

(Naskah hal 39 terpotong/tidak tercantum).

…..berikut :

Barang siapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad s.a.w. maka harus diperingatkan dengan firman Allah: “Muhammad itu bukannya bapak seseorang padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi”; dan sabda RasulNya: “Dalam umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya Nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi dan tidak ada Nabi sesudahku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Tsauban)……..; dan banyak lagi hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas, bahwa tak ada lagi Nabi sesudah Muhammad s.a.w.

Jika orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut, maka ia mendustakannya: dan barangsiapa menjustakan, maka kafirlah ia.66

Demikianlah beberapa faktor yang melatar-belakangi dan menyebabkan dibentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah.

  1. Perkembangan Majlis Tarjih

Adapun perkembangan Majlis Tarjih kemudian, dapat dilihat pada aktifitas-aktifitas yang dilakukannya. Mulai sejak sidang pertama dalam konggres ke-18 di Solo itu, Majlis Tarjih terus mengadakan sidang-sidang khususi tarjih tiap-tiap tahun secara bersamaan waktu dan tempat dengan kongres Muhammadiyah sampai pada Muktamar (istilah kongres mulai tahun 1950 diganti dengan Muktamar) ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Kemudian pada tahun 1954/1955 (29 Desember s/d 3 Januari ) diadakan sidang khusus tarjih di luar Muktamar Muhammadiyah, di Yogyakarta, di Gedung Mu’allimat dan dalam sidang ini hadir tokoh Islam dari Mesir Said Ramadlan, sebagai peninjau67. Kemudian pada tahun 1956, Majlis Tarjih sidang bersama–sama dengan Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang68.

Sesudah itu sidang-sidang Majlis Tarjih yang biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah itu, ditingkatkan menjadi Muktamar dan tidak lagi diadakan bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah. Ini untuk pertama kalinya diadakan tahun 1960 di mana Majlis Tarjih bermuktamar secara terpisah dari Muktamar Muhammadiyah, dan mengambil Pekajangan (Pekalongan) sebagai tempat penyelenggarannya69. Muktamar ini berlangsung dari tanggal 16 sampai 20 Juli 1960.

Dalam Mukatamar ini, ikut memberikan sambutan :

  1. Pejabat residen Pekalongan, dengan sambutan tertulis yang dibacakan oleh Sekretaris Residen, R. Soedjarwo.
  2. Panglima Kodam VII/Diponegoro, Kol.Inf. Pranoto Reksosamodra70.

Muktamar selanjutnya diadakan delapan tahun kemudian, di Sidoarjo yang berlangsung sejak tanggal 27 sampai 31 juli 1968. Ada sejumlah masalah yang diagendakan untuk menjadi acara Muktamar ini. Akan tetapi yang selesai diambil keputusannya ialah : (1) mengenai masalah umum adalah bank, lotto/nalo dan keluarga berencana; (2) masalah khusus: hijab dan gambar K.H.A. Dahlan. Keputusan-keputusan itu sebagai berikut :

  1. Bank dengan sistem riba, haram; bank tanpa riba halal; dan bunga bank yang diteria nasabah dan sebaliknya masalah musytabihat.
  2. Lotto dan nalo termasuk perjudian dan haram hukumnya.
  3. Mencegah kehamilan berlawanan dengan hukum Islam dan KB yang dilakukan dengan menggunakan cara itu karenanya berlawanan dengan hukum Islam.
  4. Dalam rapat-rapat Muhammadiyah yang dihadiri oleh lelaki dan wanita, harus menggunakan hijab.
  5. Mencabut putusan tahun 1929 (sidang tarjih pertama) yang mengharamkan pemajangan gambar K.H.A. Dahlan71.

Sejak dari Muktamar 1968 di Sidoarjo ini, hanya berselang empat tahun, sehingga diadakan lagi Muktamar Tarjih di desa Pencongan, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, yang berlangsung dari tanggal 23 sampai 28 April 1972. Di antara keputusan Tarjih yang diambil dalam Muktamar ini adalah masalah hubungan antar zakat dengan pajak yang dinyatakan sebagai dua kewajiban yang berbeda dan karenanya membayar salah satu di antara keduanya tidak dapat menggugurkan kewajiban melakukan yang lain72.

Dua Muktamar lainnya adalah Muktamar Garut, Jabar dan Muktamar Klaten, Jateng. Muktamar Garut berlansung dari tanggal 18-23 April 1976 dan merupakan Muktamar yang ke-2073 (dihitung sejak tahun 1929). Sejak Muktamar yang terakhir sampai saat ini adalah Muktamar ke-21, yang diselenggarakan di Klaten, sejak tanggal 6 sampai 11 April 198074.

Di samping itu, di sela-sela Muktamar ke Muktamar, diadakan pula seminar-seminar atau semacam itu, guna lebih mematangkan bahan-bahan kajian yang akan dibawa ke�� Muktamar. Seperti misalnya simposium yang diadakan di Bandung tahun 1965 dalam kesempatan Muktamar Muhammadiyah yang diadakan di kota tersebut. Seminar itu membahas masalah konsepsi masyarakat Islam dan pembinaan hukum-hukum fiqh bidang muamalah dalam masyarakat modern75. Terakhir di Klaten pada tahun 1978 diadakan seminar tentang Qaidah Ushul Fiqh, yang menyangkut masalah hadist-hadist dla’if, yang berjumlah banyak, di mana satu sama lain saling menguatkan dan masalah jarh dan ta’dil76.

Apabila perkembangan Majlis Tarjih dari masa ke masa diamati secara cermat, akan terlihat bahwa pada tahap-tahap permulannya dan selama periode kolonial, Majlis Tarjih memperlihatkan vitalitas yang tinggi.

Sidang-sidang Madjlis Tardjih jang diadakan bersama-sama dengan Muktamar Muhammadijah setiap tahun, kelihatannya mendapat arti lebih atas dari sidang-sidangnja Muktamar berdiri. Apabila chutbah iftitah Muktamar jang biasa dibatjakan dalam pembukaannja, jang umumnya berisi pandangan umum dari P.B. Muhammadijah mengenai segala peristiwa jang ada hubungannja dengan gerakan kita, maka chutbah iftitah Madjlis Tardjih yang dibatjakan oleh Ketua sendiri selaku mendapatkan perhatian jang chusus dari Muktamar.

Chutbah iftitah Tardjih selalu mengandung persoalan baru dalam banjak hal menundjukkan pembangkitan pembahasan jang penting dalam pembinaan hukum agama jang mendjadi dasar gerakan Muhammadijah,……………sebutan “ada sidang Tardjih”, ���ada keputusan Tardjih��� selalu mempunyai arti jang tersendiri dalam kalangan kaum Muhammadijah77.

Vitalitas Majlis Tarjih terutama selama periode kolonial tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kapasitas intelektual dan bakat kepemimpinan ulama-ulama Muhammadiyah, terutama yang menjadi anggota tarjih. Mereka memiliki kemampuan untuk beradapatasi terhadap situasi dan tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan perubahan masyarakat. Mereka juga berpandangan luas dan mempunyai wawasan yang melampaui scope nasional, seperti yang dicerminkan oleh Choethbatoel ‘Arsj (Pidato Pembukaan) Hoofdbestuur Moehammadijah tahun 1936 berikut :

Setiap gerak dan langkah, keadaan dan kejadian di dalam Islam, selaloe poela mendjadi perhatian kita, sehingga hampir segala hal ihwal, kita ketahoei dan kita perhatikan, sebagaimana kedjadian :

  1. Perbaikan agama di Malaka terutama di Djohor.
  2. Terbitnja “Almuohbiroel jabani” di Osaka, Japan.
  3. Berdirinja Kobe Muslim Mosqe” (Masjid Islam) di kota Japan.
  4. Terbitnya Nadloratoel Hilal di Peiping (Tiongkok).
  5. Kegiatan Ahloel-hadists di Hindoestani.
  6. Perobahan- perobahan di Afganistan dan Persi.
  7. Rapatnja perhoeboengan antara kaoem Sji’ah di Irak dengan Ahloesoenah di mesir.
  8. Berdirinja Alma’hadoessoe’oedi di Mekah dan Daroe Ahlil-hadist di Madinah.
  9. Masuknja poetra jang toea dari Mahatma Gandi kepada agama Islam, dengan diganti namanja : Abdullah Hiralal.
  10. Dan lain-lain sebagainja

Segala kedjadian dan keadaan, baik jang telah kita seboetkan di atas itoe, maoepoen jang tidak kita seboetkan, karena banjaknja, semoea itoe telah kita perhatikan dan faham baik-baik…………78.

Kutipan di atas dimaksudkan untuk sekedar melukiskan wawasan pandangan dan daya tanggap ulama-ulama Muhammadiyah terhadap situasi.

Salah seorang dari mereka yang demikian adalah K.H Mas Mansur, ketua pertama Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dia adalah “seorang ulama yang dalam ilmunya dan ahli ijtihad”79. Memperoleh pendidikan pertama dari ayahnya sendiri, Kyai Mas Achmad Marzuki, seorang ulama keluarga Pesantren Sidoresmi, Surabaya. Masih dalam usia sangat muda, ia pergi melakukan haji dan kemudian melanjutkan pelajaran di al-Azhar, Kairo80.

Jenjang karier keulamaan dan kepemimpinan mulai dititinya ketika pulang ke kampung halaman dari al-Azhar. Ia berkecimpung dalam lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah, dan aktif dalam organisasi-organisasi sosial dan pergerakan politik, serta selalu duduk pada tingkat pimpinan. Tahun 1921 menjadi Consoel Hoofdbestuur Moehammadijah daerah Soerabaja81. Tahun 1926 menjadi ketua Mu’tamar Alam Islami Hindisy Syarqiyah (MAIHS) dan Ketua Haji Organisasi Hindia (HOH). Kemudian bersama-sama dengan tokoh lain pada tahun 1937 mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan tahun 1938 ikut  mendirikan dan duduk dalam pengurus Partai Islam Indonesia (PII)82.

Ketika menjadi Voorzitter Hoofdbbestuur Moehammadijah (Ketua PP Muhammadiyah), K.H. Mas Masyur menyusun “Langkah Duabelas” Muhammadiyah 1938-1940. Langkah ini sangat terkenal, salah satu dari dua belas langkah itu�� ialah “memperluas paham agama”83. Langkah ini merupakan tanggapan atas perkembangan yang terjadi di Muhammadiyah, yaitu timbulnya kecenderungan menyempitkan paham agama di kalangangan sebagian anggota Muhammadiyah. Ini terbukti dengan kenyataan bahwa :

Hoofdbestuur Moehammadijah senantiasa mendapat peringatan, di waktoe akan mengoesahakan sesoeatoe ‘amal, bahwa djanganlah Moehammadidjah menambah agama, sebab menoeroet firman Allah, ”Hari ini Akoe telah menyempoernakan agamamu dan mentjoekoepkan kenikmatankoe kepadamoe serta memilih agama Islam�� bagi kamoe”.(Q.S. al-Maidah ayat 3 pen.).84.

Terdjadi poela, dalam sesoeatoe hal, jang kita gembirakan itoe kita mendapat peringatan: Djanganlah sekali-kali Moehammadijah mengadjoekan itoe, ingatlah akan firman Allah: ”Mereka tidak diperintahkan ketjoeali menjembah Toehan Allah”.(Q.s. at-Taubah ayat 32; al-Bayyinah ayat 5, pen). Sebab itoe soedah boekan ibadah, djanganlah digembirakan85.

Sehubungan dengan “Langkah Muhammadiyah 1938-1940 “yang salah satu butirnya adalah memperluas faham agama itu, maka Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Moehammadijah mengeluarkan sebuah surat yang ditandatangani oleh Voorzitter (Ketua)-nya Mas Mansur pada tangganl 10�� Muharram 1357 (1938), yang ditujukan kepada  para ulama Muhammadiyah, supaya memberi jawaban tentang lima masalah yang kemudian terkenal dengan Masalah Lima dan dalam Himpunan Putusan Tarjih menjadi “Kitab Masalah Lima”. Kelima masalah terebut ialah :

  1. Apakah agama ?
  2. Apakah “dunia ���?
  3. Apakah ibadah?
  4. Apakah sabilullah (jalan Allah) ?
  5. Apakah qiyas ?86

Masalah ini tampaknya mendesak  untuk dicari jawabannya pada waktu itu, guna dapat menentukan apakah sesuatu amal usaha yang diselenggarakan Muhammadiyah itu termasuk urusan agama, sehingga harus betul-betul berpijak kepada  sunnah atau termasuk urusan dunia sehingga pertimbangan akal dapat digunakan dan seterusnya.

Ketika jawaban-jawaban itu sudah masuk dari sejumlah ulama, baik atas nama perorangan maupun organisasi, maka K.H. Mas Mansur pula yang mengolah dan menyimpulkannya dalam buku kecil yang diterbitkan oleh Hoofdcoomite Congres Moehammadijah Djogdjakarta tahun 1942, dengan judul “Kesimpoelan Djawaban Masalahh Lima”87.

Pada tahun-tahun sekitar 1937, keadaaan perekonomian kaum muslim sangat morat-marit, sehingga hal ini menjadi sasaran keprihatinan Muhammadiyah. Maka dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1937 di Yogyakarta, diputuskan untuk mendirikan sebuah Bank Muhammadiyah sebagai  “satoe-satoenja alat oentoek mentjapai maksoed perbaikan dan soesoenan perekonomian kaoem moeslimin”88. Sebagai diketahui, bank tidak bisa terlepas dari sistem bunga; maka pada waktu itu dengan berani K.H. Mas Mansur menyatakan pendapat bahwa bank dengan sistem bunga itu, walaupun hukum sebenarnya haram, namun dima���afkan dan diperbolehkan karena alasan adalah darurat dan tuntutan keadaan yang tidak bisa dihindarkan. Alasan ini oleh K.H. Mas Mansur didasarkan kepada beberapa qaidah fiqhiyah. Dalam majalah Siaran -seperti dikutip oleh Djarnawi Hadikusumo- K.H. Mas Mansur menulis :

Ulama-ulama ushul dengan bersendi kepada Qur’an dan Hadits telah mengadakan beberapa anggaran qaidah :

  1. Keadaan memaksa membolehkan apa yang dilarang.
  2. Kesempitan dapat menarik kepada kelonggaran.
  3. Jika menghadapi dua bahaya maka dipebolehkan mengambil yang lebih ringan.

Dengan berdasarkan terpaksa atau kedlaruratan sebagai tersebut di atas, maka dirumuskan sebagai berikut :

Sedang hukumnya terang haram.

Sedang keadaan terang-terang membutuhkan.

Jika tidak, kita terdesak surut ke belakang.

Jika tidak, kita kalah surut ke bawah.

Mata kita sebagai saksi.

Keadaan sebagai bukti.

Maka disimpulkan, bank dengan sistem bunga itu haram hukumnya, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dimaafkan, selama keadaan memaksa akan adanya 89.

Barangkali kalau ditinjau dari kacamata zaman sekarang, pendapat dua pikiran K.H. Mas Mansur ini tidaklah terlalu berarti, namun untuk zamannya, in merupakan suatu keberanian yang luar biasa untuk menerima dan beradaptasi dengan realitas “masa kini”-nya tanpa kehilangan pedoman dan arah.

  1. Beberapa Catatan

Ada dua hal yang penting dicatat sehubungan dengan adanya Majlis Tarjih dalam Muhammadiyah dan perkembangan keputusannya, yaitu :

  1. Bahwa Majlis Tarjih berfungsi sebagai roda yang menggerakkan kesatuan faham dalam Muhammadiyah, mengenai masalah-masalah hukum furu’ yang semula menjadi ajang pertentangan dan pertikaian, di kalangan umat Islam di Indonesia, dan yang menjalar ke kalangan anggota-anggota Muhammadiyah, sehingga menghambat gerak penyelenggaraan amal usaha Persyarikatan. Terwujudnya kesatuan faham mengenai masalah-masalah furu’iyah ini merupakan dampak positif dari pembentukan Majlis Tarjih90.
  2. Akan tetapi juga ada dampak negatif dari adanya Majlis Tarjih ini; ialah timbulnya sikap skeptis di kalangan anggota Muhammadiyah terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sudah ada hukumnya dari para ulama terdahulu, dan bahkan sudah tidak dipertikaikan lagi, namun belum dibicarakan oleh Majlis Tarjih. Akibatnya timbul kelesuan dan kebekuan untuk mengamalkan hukum agama yang belum ditarjih itu dan sebagai gantinya diambil sikap tawaqquf, yaitu berhenti sambil menunggu keputusan Tarjih. Bahkan timbul pula anggapan, bahwa yang benar itu hanyalah putusan tarjih, sedang di luar itu belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini menyebabkan Hoofdbestuur Moehammadijah mengeluarkan pernyataan, yang merupakan penerangan tentang tarjih yang intinya :
    • Bahwa perselisihan faham dalam hukum agama itu telah menjadi kenyataan dan sudah ada sejak sebelum lahirnya Muhammadiyah.Oleh karena itu, Tarjih tidak bertujuan membatalkan segala pendapat yang tidak sesuai dengan keputusan tarjih. Tarjih bertujuan menggalang persatuan Muhammadiyah dengan mencari mana di antara pendapat-pendapat itu yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Majlis Tarjih sama sekali tidak menyatakan bahwa keputusannyalah yang paling benar.

Bahkan kami berseroe djoega kepada sekalian oelama, soepaja soeka membahas poela, akan kebenaran poetoesan Madjlis Tardjih itoe. Dimana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang afsah dalilnja dimintak soepaja diadjoekan -sjoekoer kalaoe dapt memberikan dalilnja jang lebih afsah dan terang-jang nanti akan dipertimbangkan poela, dioelangi penjelidikannja… … … …92

  • Segala masalah hukum yang tidak diperselisihkan, tetap sebagaimana yang sudah ada, asal bersandar kepada perintah Allah (Al Qur’an) dan mengambil tuntunan dari junjungan kita Muhammad s.a.w.93

 

CATATAN KAKI:

*dikutip dari Bab I buku “Laporan Penelitian Majlis Tarjih Muhammadiyah (Suatu Studi tentang Sistem dan Metode Penentuan Hukum). Tim Peneliti: Drs. H Asjmuni A. Rahman, dkk., (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985).

1Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, alih bahasa Drs. Yusron Asrofie, (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1983), hal. 3.

2Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942, edisi 2 (Jakarta:LP3ES, 1983), hal. 85; A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh, (Surabaya:PT Bina Ilmu, 1981), hal. 24.

3Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit, hal. 56-57.

4M. Djindar Tamimy, “Tajdid Muhammadiyah dalam Bidang Ideologi dan Chittah, Suara Muhammadiyah, (Th. Ke XVII, Juni 1986), hal. 3.

5M. Yusron Asrofie, K.H.A. Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya, (Yogyakarta:Yogyakarta Offset, 1983), hal. 57.

6Deliar Noer, Gerakan, hal. 324.

7M. Djindar Tamimy dan H. Djarnawi Hadikusumo, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepibadian Muhammadiyah, Cet. II (Yogyakarta:P.T. Persatuan, t.t.), hal. 59.

8Wawancara dengan K.H.M. Djuwaini, Oktober 1984, di RS PKU Muhammadiyah, Yogyakarta; lihat juga:C. Snouck Hoergronye, Islam di Hindia-Belanda, terjemahan Indonesia (Jakarta:Bharata, 1973), hal. 28. dst.

9Mitsuo Nakamura, Agama dan Lingkungan Kultural Indonesia, kumpulan karangan, terjemahan M. Darwin (Surakarta:Hapsara, 1983) hal. 33.

10Ibid., hal. 34.

11Wawancara dengan Bapak M. Djindar Tamimy 25 Desember 1984.

12Deliar Noer, Gerakan, hal. 92.

13Wawancara dengan K. Umar Affandi tanggal 5 November 1984.

14Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 34.

15A. Jainuri, Muhammadiyah, hal.  64.

16Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 34.

17Ibid., hal. 37-38.

18A. Jainuri, Muhammadiyah, hal. 64.

19Mitsuo Nakamura, Agama, hal. 38-39.

20Drs. DQ. Muchtar, “Fungsi”, hal. 3.

21Dikutip dari Khutbah Iftitah PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam Muktamar Tarjih ke XXI di Klaten, 1980.

22Wawancara dengan responden bersangkutan tanggal 24 dan 28 Oktober 1984.

23Majalah Suara Muhammadiyah, no. 10 tahun ke-60, Mei II  1980, hal. 29, kolom 1.

24Lihat pasal 6 dan 7.

25Himpunan Putusan Tarjih, cet. Ke-3 (Yogyakarta:PP Muhammadiyah, t.t.) hal. 4.

26Wawancara dengan KHM. Djuwaini, tanggal 4 Oktoer 1984 di PKU Muhammdiyah.

27Wawancara dengan Drs. D.Q., Muchtar, tanggal 29 November 1984.

28Drs. D.Q. Muchtar, “Fungsi”, hal. 4.

29Dikutip dari Drs. D.Q. Muchtar dalam “Fungsi”, hal. 3. Lihat juga Boeah Congres 26, (Yogyakarta:Hoafdcomite Congres Muhammadiyah, t.t.) hal. 30.

30K.H.M. Djuwaini, :”Uraian Ketarjihan”(makalah tidak diterbitkan),    hal. 4.

31Wawancara dengan K.H.M Djuwaini tanggal 4 Oktober 1984 di PKU Muhammadiyah; wawancara denan Kyai Umar Affandi (salah seorang pengasuh Pendidikan Ulama Tarjih di Yogyakarta), tanggal 5 November 1984.

32Ibid.

33Wawancara dengan M. Djindar Tamimy, tanggal 25 Desember 1984.

34Drs. D.Q. Muchtar, “Fungsi”, hal. 2.

35Boeah Congres 23, cet. Ke-2 (Djogdjakarta;Hoofdcomite Congres Muhammadiyah, 1968) hal. 27.

36Lihat Suara Muhammadiyah , No. 17-18, tahun ke-48 (September I dan II, 1968) hal. 27.

37Pak AR Yogyakarta, Menuju Muhammadiyah, cet. Ke-1 (Yogyakarta;PP Muhammadiyah Majlis Tabligh, 1984) hal. 32.

38HM Junus Anis, “Asal-Mula Diadakan Madjlis Tardjih”, Suara Muhammadiyah, No. 6 tahun ke-52 (Maret II 1972/Shafar I-1392 H), hal. 3.

39KHM. Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, Suara Muhammadiyah, No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal 1388), hal. 24. KH Mas Mansur ini kemudian menjadi Ketua Hoofdbestuur Moehammadijah ke empat periode 1936-1942.

40Ibid.

41HM Junus Anis, “Asal Mula …….”, hal. 3.

42Ibid.

43Majalah Suara Muhammadiyah No. 17-18, tahun 48/1968, hal. 27 dan No. 12 tahun ke-58/1978 halaman 13 melaporkan data-data Musyawarah Tertinggi Muhammadiyah dan menyatakan bahwa Congres ke-17 tahun 1928 di Solo dan Kongres ke-18 tahun  1929 di Yogyakarta. Ini sebenarnya terbalik yang benar Kongres ke-17 itu di Yogyakarta dan Kongres ke-18 di Solo.

44HM Junus Anis, ”Asal Mula…………..”, hal. 3.

45HM Aslam Zainuddin ini sampai saat penelitian ini dilakukan (akhir 1984) beliau masih hidup dan termasuk salah satu seorang responden penelitian ini.

46Wawancara Saudara M. Natsir Bakry dengan Bapak HM Aslam Zainuddin 6 Februari 1977 di Gerjen Yogyakarta. Lihat Lampiran Skripsi Saudara tersebut yang berjudul Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah dalam Pembinaan Hukum Islam di Indonesia, hasil wawancara ini dinyatakan kembali kepada Bapak HM Aslam Zainuddin oleh Drs. H. Asjmuni dan cocok, pada November 1984.

47H. Ahmad Basimi, “Kesan dan Pesan tentang Mu’tamar Tarjih”, Suara Muhammadiyah, No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal, 1388), hal. 7.

48HM Junus Anis, “Asal Mula…………”, hal. 3.

49S. Soebardi dan C.P Woodcroft-Lee, “Islam in Indonesia” dalam The Crescent in the East:Islam in Asia Major, diedit oleh Raphael Israeli, cet. Ke-1 (London and Dublin:Curzon Press Ltd, 1982) hal. 193.

50Dikutip dari teks “Khutbah Pembukaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Mu’tamar Khususi Tarjih tahun 1960 di Pekajangan”  yang disampaikan oleh K.H. Faqih Usman.

51H. Ahmad Basuni, “Kesan”, hal. 6.

52Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (London New York : Oxford University Press, 1973) hal. 81.

53Wawancara dengan K.H.M. Djuwaini, Wakil Ketua Majlis Tarjih, tanggal 1984 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.

54H. Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al-Afghani sampai KhA Dahlan, cetakan ke-2 (Yogyakata:Penerbit Persatuan, t.t.)hal. 80.

55Boeah Congres 23, hal. 11.

56Ibid, hal. 22 dan 23.

57Ibid.,ahal. 20.

58Hasil wawancara dengan K.H.M. Djuawaini, tanggal      1984.

59Dikutip dari teks “Khutbah Pembukaan” (lihat catatan Nomor 16 di atas).

60Deliar Noer, The Modernist, hal. 77 dan 78; S. Soebardi dan C.P. Woodcaft-Lee,”Islam’,op.cit.,hal. 191 dan 194.

61Boeah Congres 26, (Yogyakarta : Hoofdcomite Congres Moehammadijah, t.t.) hal. 31.

62S. Soebardi, “Islam di Indonesia”, dalam Prisma, Nomr Ekstra, thun ke VII (1978), hal. 77-78.

63Abdul Hasan Ali al-Hasni al-Naddwi, al-Qadiyani Wa al Qadiyaniyah:Dirasah Wa Tahlil, cet. ke-3 (ttp.:al-Dar al-Sa’udiyah li al-Nasyr, 1971 M/1391 H) ahal. 68-71.

64S. Soebardi dan C.P. Woocroft-Lee,”Islam”, op. Cit., hal. 202.

65K.H. Sahlan Rasyidi, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, (ttp. : Majlis PPK, tt.) hal. 66.

66Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. ke-3 (Yogyakarta:PP Muhammadiyah, tt.) hal. 280.

67Wawancara dengan KHM Djuwaini tanggal  1984.

68Laporan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih kepada sidang Khususi Tarjih tanggal 16-20 Juli 1960 di Pekajangan (Pekalongan).

69Suara Muhammadiyah, No. 15 – 16 tahun XLVIII, Agustus I dan II 1968 M/1388 H, hal. 7.

70Muktamar Chusus Tardjih 16 s/d 20 Juli 1960 di Pekalongan, naskah tidak diterbitkan.

71Suara Muhammadiyah, Nomor 15 – 16, tahun XLVIII, Agustus I – II, 1968 M/1388 H, hal. 7. Lihat juga Himpunan Putusan Tarjih, “Keputusan Tarjih Sidoarjo”.

72Suara Muhammadiyah, No. 10, th. ke-52, 1972, hal. 3.

73Suara Muhammadiyah, No. 9, th. ke-56, 1976.

74Suara Muhammadiyah, No. 9, th. ke-60, 1980, hal. 3.

75Risalah Stenografi Sidang Khusus Majlis Tarjih pada Muktamar ke 36 di Bandung 1965, hal. 2.

76Suara Muhammadiyah, No. 11, th. ke-58, 1978, hal. 3.

77Pidato Pembukaan PP Muhammadiyah Majlis Tarjih pada Muktamar Tarjih, 1960 di Pekalongan yang disampaikan oleh K.H. Fakih Usman.

78Boeah Congres Moehammadijah Seperempat Abad, (Yogyakarta : Hoofdcomite Congres Moehammadijah, t.t.) hal. 12.

79Wawancara dengan K.H.A.R. Fakhruddin tanggal 25 Desember 1984 dalam perjalanan mobil dari Magelang ke Yogyakarta jam 14.30 WIB.

80Ikromi Wirdjoatmodjo, “K.H. Mas Mansur”, dalam Suara Muhammadiyah, (No. 12 th ke-58, Juni, 1978) hal. 27.

81Marzuki Yatim, “Liku-liku Perjuangan Muhammadiyah.

diposting ulang oleh pcm bengkong

sumber: https://tarjih.or.id/sejarah-majelis-tarjih/

7 FALSAFAH AJARAN KH. AHMAD DAHLAN

KETUA PCM Bengkong

7 FALSAFAH AJARAN KH. AHMAD DAHLAN

Falsafah Pertama

“Manusia hidup di dunia hanya sekali: sesudah mati, akankah mendapat kebahagiaan atau kesengsaraan?”

“Lengah, akan sengsara di dunia dan akhirat. Mencari kemuliaan di dunia saja, kalau tidak sungguh-sungguh, tak akan berhasil, apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Bagaimanakah supaya aku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa; beramal apa; menjauhi dan meninggalkan apa?”

Falsafah Kedua

“Kebanyakan manusia berwatak angkuh dan takabur; mengambil keputusan sendiri-sendiri. Tidak mau bertukar pikiran, memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Tiap-tiap golongan agama menganggap dirinya yang akan selamat dan bahagia dan yang lain akan celaka dan sengsara.”

“Masing-masing pihak membanggakan apa yang ada pada mereka.” (QS 30:32).

Falsafah Ketiga

“Pekerjaan apa pun, kalau dilakukan berulang-ulang, akan menjadi kebiasaan. Kalau tabiat kebiasaan itu sudah menjadi kesenangan, akan sukar diubah. Kebanyakan manusia membela adat kebiasaannya. Bila ada yang mau mengubah, ia sanggup membela dengan mengorbankan jiwa-raga, karena ia beranggapan bahwa itu benar.”

“Manusia, seperti botol, selalu menerima sembarang apa saja yang diisikan. Manusia itu membenci apa yang tidak diketahuinya; manusia musuh kebodohannya. Kenalilah kebenaran itu dengan pengetahuan yang benar, bukan dengan memandang orangnya.”

“Kami mengikuti jalan yang kami peroleh dari leluhur kami.” (QS 31:21) ;

“Orang-orang yang arif dan mendapat bimbingan Allah: mereka mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik di antaranya.” (QS 39:18-19).

Falsafah Keempat

“Manusia harus mencari kebenaran yang sejati. Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran; bersama-sama mempergunakan akal pikiran untuk memahami hakikat dan tujuan hidup, mengevaluasi iktikad, kepercayaan, dan tingkah lakunya.”

Hidup di dunia ibarat musafir atau orang yang menyeberang jalan. Musafir harus yakin bahwa ia berada di jalan yang benar yang akan mengantarkan sampai tujuan dengan selamat dan bahagia. Seseorang yang telah menemukan jalan yang benar tidak sepatutnya berjalan demi keselamatan dirinya sendiri, melainkan mengajak orang-orang lain dengan bijaksana untuk menempuh jalan yang sama.

“Apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau mengerti?” (QS 25:44).

Falsafah Kelima

“Kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar, karena khawatir akan terpisah dari kesenangan dan teman-temannya. Lalu hidup asal hidup. Manusia tidak menuruti kebenaran yang sudah diyakininya, karena takut mendapat kesukaran dan hanyut oleh kebiasaan buruk.”

“Jalan hidupku terang-benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela dan membutakan akal dan hati.

Agama Islam mula-mula cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Akan tetapi sesungguhnya yang suram manusia, bukan agamanya.

Agama adalah kecenderungan ruhani naik menuju kesempurnaan tertinggi nan suci, bersih dari pengaruh kebendaan duniawi.”

Falsafah Keenam

“Kebanyakan pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk menjadikan umat manusia dalam kebenaran. Mereka malahan mempermainkan dan memperalat manusia yang bodoh dan lemah.”

Pemimpin harus bertindak sebagai imam dalam segala aspek kehidupan. Teladan yang terbaik adalah Rasulullah Muhammad saw dan para pengikutnya terdahulu. Pengorbanan itu harus dimulai dari diri sendiri, dengan sedikit bicara, banyak kerja – Sepi ing pamrih rame ing gawe.

“Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu baik, maka baiklah alam; dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu rusak, maka rusaklah alam dan negara (masyarakat dan negara”

Falsafah Ketujuh

“Belajar ilmu dan belajar amal. Mempelajari pengetahuan atau teori dan mengerjakan atau mempraktikkannya. Semua pelajaran ditempuh sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam beramal.”

“Mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada kita ke jalan yang benar, sehingga kita memperoleh kebahagiaan yang abadi. Marilah mengadakan perkenalan, silaturahmi, komunikasi, dan pertemuan sesama kita untuk bermusyawarah, mencari, dan meneliti mana yang salah dan mana yang benar.”

0-adFalsafah oleh Prof. KH. Ahmad Dahlan

Diposting ulang by: Pcm Bengkong

Sumber: https://pcmbengkong.blogspot.com/2018/10/7-falsafah-ajaran-kh-ahmad-dahlan.html

Gubernur Kepri Resmikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah Internasional Muhammadiyah

PCM Bengkong.com: Gubernur Kepri Resmikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Internasional Muhammadiyah, Sabtu 6 Juli 2019 di Aula Pusat Muhammadiyah Asean, Jl Prof. DR. Hamka No 03 Batu Aji Batam.

Muhammadiyah Batam Meneruskan kemajuannya untuk mencerdaskan anak bangsa dengan bertambahnya satu perguruan tinggi lagi yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Internasional Muhammadiyah dengan dua prodi:
1. Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
2. Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAD)

Alhamdulillah, Bapak Gubernur Kepri, Nurdin Basirun lansung yang meresmikan Pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah International Muhammadiyah Batam bersama Bp Prof. Dr. Suyatno, dari PP Muhammadiyah Pusat, berikut Bp Prof. Epi Suparman dari Kementrian Agama Pusat, PWM, PDM, PCM, PRM dan Ortom2 Muhammadiyah.
Pada kesempatan ini Bp Gubernur kepri mengatakan bahya dirinya juga kader Muhammadiyah yang dinyatakan waktu kecilnya sekolah di Muhammadiyah Tg Pinang dan Aktif di Ortom Tapak Suci sampai mendapatkan gelar Pendekar dari Tapak Suci Muhammadiyah, Bp Nurdin mengatakan juga bangga dengan Perjuangan Muhammadiyah yang optimis dan akan membantu dan mensupport untuk pembangunan Kemajuan Muhammadiyah kedepannya di Kepulauan riau dan Batam Khususnya, selagi hayat masih dikandung badan katanya.

Pada saat itu juga kami menyimak sambutan dari Bp. Prof. Suyatno selaku Bendahara Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menyampaikan akan mensupport untuk membantu pembiayaan pembangunan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Batam, dan Bp. Prof. Suyatno juga mengajak seluruh kader Muhammadiyah Batam dan Kepulauan Riau untuk Berstabikul khairat, dan beribadah dengan perjuangan kemajuan Muhammadiyah, Bp Prof. Suyatno juga mengajak kepada hadirin bahwa mengambil bagian untuk kemajuan Muhammadiyah dalam menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan beliau juga mengingatkan kader Muhammadiyah bahwa jangat menunggu disuruh dulu baru bergerak, tapi bergeraklah dengan niatkan ibadah Lillahi Ta’aala dan mengharapkan ridhoo Allah swt.

Selanjutnya pihak kami juga dialok lansung dengan ketua (STIT) yaitu Bp. Arifudin Jalil yang mengatakan bahwa beliau optimis untuk memajukan perguruan tinggi ini, karena perguruan tinggi ini yang pertama di Batam dan mahasiswanya yang mendaftar juga dari berbagai Negara Tetangga (Asean), sekarang ini kita di (STIT) telah ada dua prodi yaitu:
1. Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
2. Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAD)
dan beliau juga mengajak semua pihak untuk bersinergi untuk membesarkan perguruan Tinggi Muhammadiyah ini. mulai sekarang kita sudah menerima Mahasiswa untuk STIT dan Siwa untuk PIAD, insyaa Allah tahun ajaran 2019 ini kita sudah Jalan katanya.
Mohon maaf jika ada kesalan penulisan Nama dan yang lainnya.

Sumber: zm

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai