Dr. KH. Haedar Nashir Ketua ke-15

Dr. KH. Haedar Nashir (Ketua PP Ke 15)

Dr. KH. Haedar Nashir 

Lahirdi BandungJawa Barat25 Februari 1958; umur 60 tahun) adalah Ketua Umum Muhammadiyah terpilih periode2015 – 2020.[1][2] Di internal Muhammadiyah, dan terutama di kalangan aktivisIMM, nama Haedar Nashir sudah sangat dikenal. Ia pernah menjadi sekretarisketika Ahmad Syafii Maarif menjabat ketua umum.

Sejak masih pelajar, Haedar sudah berkiprah di Ikatan PelajarMuhammadiyah. Ia juga menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah danmembuat banyak tulisan tentang Muhammadiyah. Bukunya yang berjudul“Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan” menjadi salah satu karya yang sangatreferensial.

Esai-esainya pun bisa dinikmati di rubrik “bingkai” Majalah Suara Muhammadiyah. Muktamar ke-47 Muhammadiyah akhirnya memilih Haedar sebagai ketua Umum periode 2015-2020. Dalam berbagai forum diskusi, namanya memang digadang-gadang bakal menggantikan Din Syamsuddin. Selain Haedar, nama lain yang diperbincangkan adalah Abdul Mu’tiSyafiq A. Mugni, dan Yunahar Ilyas.

PENDIDIKAN

  1. PesantrenPesantren Cintawana,[3] TasikmalayaJawa Barat
  2. MadrasahIbtidaiyah Ciparay, Bandung.
  3. SMPMuhammadiyah III, Bandung.
  4. SMAN 10, Bandung.
  5. S-1, STPMDAPMD, Yogyakarta.
  6. S-2,Sosiologi, UGM.
  7. S-3,Sosiologi, UGM[4]
  8. Karier[sunting | sunting sumber]
  9. Ketua UmumPimpinan Pusat Muhammadiyah (2015-sekarang)
  10. Ketua PP IkatanPelajar Muhammadiyah periode (1983-1986)
  11. Ketua Dep.Kader PP Muhammadiyah periode (1985-1990)
  12. PimpinanRedaksi Majalah Suara Muhammadiyah

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Haedar_Nashir

Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA Ketua ke-14

Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA (Ketua PP Ke 14)

Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA,

atau dikenal dengan Din Syamsuddin (lahirdi SumbawaNusaTenggara Barat31 Agustus 1958; umur 60tahun), adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Menjabat sebagai Ketua Umum PimpinanPusat Muhammadiyah periode2005-2010 dan 2010-2015, jabatannya ini lalu digantikan oleh Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak. Iadiamanati untuk menjadi Ketua Umum Majelis UlamaIndonesia Pusat, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil KetuaUmum Majelis UlamaIndonesia Pusat menggantikan Dr (HC). KH. Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014.Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA, atau dikenal dengan Din Syamsuddin (lahirdi SumbawaNusaTenggara Barat31 Agustus 1958; umur 60tahun), adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Menjabat sebagai Ketua Umum PimpinanPusat Muhammadiyah periode2005-2010 dan 2010-2015, jabatannya ini lalu digantikan oleh Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak. Iadiamanati untuk menjadi Ketua Umum Majelis UlamaIndonesia Pusat, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil KetuaUmum Majelis UlamaIndonesia Pusat menggantikan Dr (HC). KH. Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014.

Riwayat pendidikan 

Din Syamsuddin menempuh pendidikan mulai dari:

  1. DinSyamsuddin menempuh pendidikan mulai dari:
  2. Pondok Modern Darussalam Gontor Jawa Timur (1975)
  1. DinSyamsuddin menempuh pendidikan mulai dari:
  2. Pondok Modern Darussalam Gontor Jawa Timur (1975)
  3. IAINSyarif HidayatullahJakarta,Sarjana Muda, Fakultas Ushuluddin (BA, 1980)
  4. IAINSyarif HidayatullahJakarta,Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama (Drs, 1980)
  5. University of California, Los Angeles (UCLA)di Amerika Serikat,Interdepartmental Programme in Islamic Studies (MA, 1988)
  6. University of California, Los Angeles (UCLA)di Amerika Serikat,Interdepartmental Programme in Islamic Studies (Ph.D, 1991).

 

Karier

Berikut karier yang diikuti oleh Din Syamsuddin:

  1. Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005 – 2015)
  2. Chairman of Center for Dialogue and Cooperation amongCivilizations/ CDCC (2007 – sekarang)
  3. Member, Strategic Alliance Russia based Islamic World (2006 -sekarang)
  4. Member, UK-Indonesia Islamic advisory Group (2006 – sekarang)
  5. Chairman, World Peace Forum/ WPF (2006 – sekarang)
  6. Honorary President, World Conference on Religions for Peace/ WCRP,based in New York (2006 – sekarang)
  7. Wakil Ketua Umum MUI Pusat (2005-2010)
  8. Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI Pusat (2005-2010)
  9. Vice Secretary General, World Islamic People’s Leadership, based inTripoli (2005 – sekarang)
  10. Member, World Council of World Islamic Call Society, based inTripoli (2005 – sekarang)
  11. President, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, based inTokyo (2004 – sekarang)
  12. Ketua, Indonesian Committee on Religions for Peace/ IComRP (2000 -sekarang)
  13. Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005)
  14. Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005)
  15. Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1999)
  16. Wakil Sekjen DPP Golkar (1998-2000)
  17. Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan MPR-RI (1998)
  18. Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, DEPNAKER RI (1998-2000)
  19. Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Golkar (1993-1998)
  20. Anggota Dewan Riset Nasional (1993 – 1998)
  21. Sekretaris Dewan Penasihat ICMI Pusat (1990-1995)
  22. Wakil Ketua Mejelis Pemuda Indonesia (1990 – 1993)
  23. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993)
  24. Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 1985)
  25. Dosen/ Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1982 – sekarang)
  26. Dosen di berbagai Perguruan Tinggi (UMJ, UHAMKA, UI, 1982 – 2000)
  27. Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta (1980 -1982)
  28. Ketua IPNU Cabang Sumbawa (1970 – 1972).

Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk menghadiri berbagai macam konferensi tingkat internasional berkenaan dengan masalah hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Baru-baru ini, misalnya, ia diundang ke Vatican untuk memberikan ceramah umum tentang terorisme dalam konteks politik dan idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan dengan isu politik dibandingkan dengan isu idiologi. Sejalan dengan itu, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam menggunakan label Islam dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka. Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam justru sangat merugikan umat Islam baik pada tingkat internal umat Islam maupun pada skala global.

Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan hanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karena kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen umat beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama lainnya.

Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda Indonesia Penerbangan 200, ia mengalami luka ringan dalam penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut.

Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukanhanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karenakemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen umat beragama baikantar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama lainnya.

Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda Indonesia Penerbangan 200, ia mengalami luka ringan dalam penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut.

Menjadi Ketua MUI

Din Syamsuddin Resmi Jadi Ketua Umum MUI sebagai ketua umum baru. Din menggantikan Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014. Keputusan penggantian ditetapkan pada rapat pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa 18 Februari 2014. Hasil ini akan diplenokan dan dibuat keputusan rapat secepatnya. Namun ketua umum baru berlaku secara definitif per Selasa 18 Februari 2014. Pada tahun 2015, ia digantikan oleh KH. Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI yang baru.

https://id.wikipedia.org/wiki/Din_Syamsuddin

Prof. Dr. H. Muhammad Amien Rais Ketua ke-12

Prof. Dr. H. Muhammad Amien Rais (Ketua PP ke-12)


Prof. Dr. H. Muhammad Amien Rais 

(lahir di SurakartaJawa Tengah26 April 1944; umur 74tahun) adalah politikusIndonesia yangpernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 19992004. Jabatanini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 padabulan Oktober 1999.

Namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soehartosebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.

Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Raisdalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999.

Lahir di Solo pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah. Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah MadaYogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara dan baru kembali tahun 1984dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre DameIndiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas ChicagoIllinoisAmerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMIBPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.

Terjun ke politik

Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu bermain cantik dengan berhasil menjadi ketua MPR.

Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Tahun 1999, Amien urung maju dalam pemilihan presiden. Tahun 2004 ini, ia maju sebagai calon presiden tetapi kalah dan hanya meraih kurang dari 15% suara nasional.

Pada 2006 Amien turut mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT. Freeport Indonesia. Setelah terjadi Peristiwa Abepura, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar secara tidak langsung menuding Amien Rais dan LSMterlibat dibalik peristiwa ini. Tapi hal ini kemudian dibantah kembali oleh Syamsir Siregar.[1]

Pada Mei 2007, Amien Rais mengakui bahwa semasa kampanye pemilihan umum presiden pada tahun 2004, ia menerima dana non bujeter Departemen Kelautan dan Perikanan dari Menteri Perikanan dan Kelautan, Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Ia sekaligus menuduh bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden lainnya turut menerima dana dari departemen tersebut, termasuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.[2][3]

Kehidupan pribadi

Amien Rais menikah dengan Kusnasriyati Sri Rahayu. Dari pernikahannya, Amien dikaruniai lima orang anak, yaitu Ahmad Hanafi RaisHanum Salsabiela RaisAhmad Mumtaz RaisTasnim Fauzia, dan Ahmad Baihaqi.

Tanggal 8 Oktober 2011 putera Amien Rais, Ahmad Mumtaz Rais, menikah dengan Futri Zulya Safitri, puteri dari Menteri KehutananZulkifli Hasan.[4]

Penembakan di rumah Amien Rais

Pada bulan November tahun 2014, rumah Amien Rais ditembak oleh pelaku tak dikenal. Anak Amien Rais menerangkan, kronologi penembakan mobil ayahnya melalui akun Twitter miliknya, @hanumrais :[5].

Dini hari sekitar pukul 01.00 WIB, sebuah motor melewati depan rumah Amien Rais. Pengemudi kemudian berhenti di depan pagar lalu menembakkan satu peluru ke mobil Toyota Harrier hitam berplat AB 264 AR. 

Satpam penjaga yang sedikit tertidur terhenyak. Petugas keamanan itu lalu melihat seorang berkelebat cepat meninggalkan rumah Amien di Jalan Pandeansari blok 2 nomor 5, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta ke arah selatan.

Satpam mengira tembakan keras tadi berasal dari ban mobil bocor. Penjaga kemudian melihat pria berhelm tutup kembali melewati Pandeansari.

Jalan Pandeansari memang diportal jika akan ke arah selatan. Sehingga pengemudi motor tersebut harus berbalik arah. Lagi-lagi satpam mengira itu hanyalah anak kos.

Pagi harinya, sopir Amien yang akan mencuci mobil kaget lantaran ada sebuah bekas bolong besar di dekat kaca mobil. Tapi tidak ditemukan selongsong.

Sopir curiga bahwa tembakan pistol ke mobil Amien bukan senjata rakitan atau karet. Musababnya, ditemukannya sebuah selongsong di dalam jok mobil.

Sekretarisnya kemudian mengkonfirmasi ke Amien. Amien terdiam sejenak dan menganggukkan kepala pelan. “Ya, ini sebuah teror serius,” kata Amien.

Mengapa penembak menembak mobil? Dari lokasi penembakan, pelaku mungkin ingin membidik tangki bensin.

Pimpinan Partai Amanat Nasional DI Yogyakarta kemudian diberitahu sekretaris Amien. Pengurus PAN DIY mengatakan, “Kejadian ini hrs dilaporkan polisi.” Kepolisian DI Yogyakarta kemudian datang setelah pukul 8.00 WIB mendapatkan laporan.

Peluru dan selongsongnya sekarang dibawa polisi untuk diteliti di Puslabfor di Semarang.

Saat kejadian Amien sedang beristirahat dan tidak mendengar suara apapun.

Satpam juga mengatakan bahwa akhir-akhir ini memang ada sebuah motor yang sering lalu-lalang saat dini hari.

Namun satpam menilai beberapa orang yang sering mondar-mandir itu biasa karena sebelah rumah Amien adalah kos pria

Kontroversi

Bulan Juni 2017 nama Amien Rais disebut oleh jaksa KPK dalam persidangan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Siti Fadilah Supari. Dalam surat tuntutan jaksa, sejumlah uang yang diterima sebagai keuntungan pihak swasta juga mengalir ke rekening Amien Rais. Awalnya, pada September 2005, Siti beberapa kali bertemu dengan Direktur Utama PT Indofarma Global Medika dan Nuki Syahrun, selaku Ketua Soetrisno Bachir Foundation (SBF). Nuki merupakan adik ipar Soetrisno Bachir. Menurut jaksa, berdasarkan fakta persidangan, penunjukan langsung yang dilakukan Siti terhadap PT Indofarma merupakan bentuk bantuan Siti terhadap Partai Amanat Nasional (PAN). Pengangkatan Siti sebagai Menteri Kesehatan merupakan hasil rekomendasi Muhammadiyah.[6] Tak lama kemudian, Soetrisno Bachir memberikan klarifikasi bahwa Amien Rais tidak ada hubungannya dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, sehingga diduga menjadi alasan mengapa Amien Rais tidak pernah dipanggil KPK

https://id.wikipedia.org/wiki/Amien_Rais

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua ke-11

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA

KH. Ahmad Azhar Basyir, MA (lahir di Yogyakarta, 21 November 1928 – meninggaldi Yogyakarta, 28 Juni 1994 pada umur 65 tahun) adalah tokoh intelektual yangkharismatik dan pejuang perang sabil yang dikenal sebagai ulama sederhana.

PENDIDIKAN

  1. Sekolah Rendah Muhammadiyah, Suronatan Yogyakarta.
  2. Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan.
  3. Madrasah Al-Fallah Kauman, 1944.
  4. Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta.
  5. Madrasah Aliyah Yogyakarta, 1952.
  6. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta.
  7. Jurusan Adab, Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Iraq.
  8. Studi Islam, Facultas Dar al-‘Ulum, Universitas Kairo, Mesir.

KARIER

  1. Anggota Hizbullah, Battalion 36 Yogyakarta.
  2. Ketua Pemuda Muhammadiyah.
  3. Dosen Universitas Gadjah Mada.
  4. Dosen IAIN Sunan Kalijaga.
  5. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
  6. Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
  7. Ketua Umum Muhammadiyah.
  8. Ketua Majelis Ulama Indonesia, 1990-1995.
  9. Dewan Pengawas Shariah, Bank Muamalat Indonesia.
  10. Anggota MPR-RI 1993-1998.
  11. Anggota Lembaga Fiqih Organisasi Konferensi Islam.

KARYA

Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi)

  1. Garis-garis Besar Ekonomi Islam
  2. Hukum Waris Islam
  3. Sex Education
  4. Citra Manusia Muslim
  5. Syarah Hadits
  6. Missi Muhammadiyah
  7. Falsafah Ibadah dalam Islam
  8. Hukum Perkawinan Islam
  9. Negara dan Pemerintahan dalam Islam
  10. 3 Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam)
  11. Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila
  12. Agama Islam I dan II
  13. dan lain-lain.

 

MENINGGAL

Ahmad Azhar Basyir dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito akibat radang usus, penyakit gula, dan komplikasi jantung[1] hingga meninggal pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun. Dia dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Ketua_Umum_Pimpinan_Pusat_Muhammadiyah

K. H. Abdul Rozak Fachruddin Ketua ke-10

K. H. Abdul Rozak Fachruddin (lahir di PakualamanYogyakarta14 Februari 1915 – meninggal di SoloJawa Tengah17 Maret 1995 pada umur 80 tahun) adalah Ketua Umum Muhammadiyah yang menjabat dari 1968 sampai tahun1990.[1][2]

Latar belakang

Fachruddin lahir di PakualamanYogyakarta pada tanggal 14 Februari 1916. Ayahnya adalah K.H. Fachruddin adalah seorang lurah naib atau penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII, berasal dari Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H. Idris, Pakualaman. Ia belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran. Setelah ayahnya tidak lagi menjadi penghulu dan usaha dagang batiknya juga jatuh, maka ia pulang ke Bleberan. Pada tahun 1925, ia pindah ke Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede dan setamat dari sana tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah belajar di Muallimin, dia pulang untuk belajar kepada beberapa kiai seperti K.H. Fachruddin, ayahnya sendiri.[1][2]

KARIER

Pada tahun 1934, ia dikirim oleh Muhammadiyah untuk misi dakwah sebagai guru di sepuluh sekolah dan sebagai mubaligh di Talangbalai (sekarang Ogan Komering Ilir) selama sepuluh tahun.[2] Dan ketika Jepang datang, ia pindah ke Muara Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama tahun 1944, Fachruddin mengajar di sekolah Muhammadiyah, memimpin dan melatih Hizbul Wathan, dan barulah ia pulang ke kampung halaman.[1]

Pada tahun 1944, ia masuk BKR Hizbullah selama setahun. Sepulangnya dari Palembang, berdakwah di Bleberan, menjadi pamong desa di Galur selama setahun. Selanjutnya, ia menjadi pegawai Departemen Agama.[2] Pada tahun 1950, ia pindah ke Kauman dan belajar kepada tokoh-tokoh awal Muhammadiyah seperti Ki Bagus HadikusumoBasyir MahfudzBadilah Zuber dan Ahmad Badawi.[1][3] Pengabdiannya bukan saja di lingkungan Muhammadiyah, tetapi juga di pemerintahan dan perguruan tinggi. Dia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama, Wates (1947). Tidak lama di jabatannya itu, dia ikut bergerilya melawan Belanda. Pada 19501959, ia menjadi pegawai di kantor Jawatan Agama wilayah Yogyakarta, lalu pindah ke Semarang, sambil merangkap dosen luar biasa bidang studi Islamologi di Unissula, FKIP Undip, dan Sekolah Tinggi Olahraga. Sedangkan di Muhammadiyah, dimulai sebagai pimpinan Pemuda Muhammadiyah (19381941). Ia menjadi pimpinan mulai di tingkat ranting, cabang, wilayah, hingga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan sebagai ketua PP Muhammadiyah dipegangnya pada 1968 setelah di-fait a ccompli menggantikan KH Faqih Usman, yang meninggal.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang, Fachruddin terpilih sebagai ketua. Hampir seperempat abad ia menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, sebelum digantikan oleh almarhum KH Azhar Basyir. Setelah dirawat di RS Islam Jakarta, Fachruddin tutup usia pada 17 Maret 1995, meninggalkan 7 putra dan putri.

KH FAKIH USMAN Ketua ke-9

9-kh-fakih-usman

KH FAKIH USMAN (Ketua ke-9)

Kyai Haji Fakih Usman adalah aktivis Islam di Indonesia dan politikus dari Partai Masyumi. Ia menjadi Menteri Agama dalam dua kali masa jabatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan kedua sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo

Kyai Haji Fakih Usman (juga ditulis Faqih Usman; lahir 2 Maret 1904 – meninggal 3 Oktober 1968 pada umur 64 tahun) adalah aktivis Islam di Indonesia dan politikus dari Partai Masyumi. Ia menjadi Menteri Agama dalam dua kali masa jabatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan kedua sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo. Saat masih muda Fakih dikritik karena kaitannya dengan organisasi Islam Muhammadiyah, tetapi kini dikenang oleh organisasi tersebut. Sebuah jalan di Gresik dinamakan untuk Fakih.

Fakih dibesarkan di Gresik, Hindia Belanda. Ia belajar tentang Islam dari ayahnya dan di sejumlah pesantren hingga tahun 1920-an. Pada tahun 1925 ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi ketua untuk cabang Surabayapada tahun 1938; ia juga ikut serta dalam kancah politik setempat. Ketika sejumlah organisasi Islam bekerja sama pada tahun 1940 untuk mendirikan Majilis Islam Ala Indonesia, Fakih menjadi bendahara. Selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia, Fakih terus bergerak dalam bidang tersebut. Sekaligus menjalani dua periode sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, Fakih menjadi lebih berpengaruh di Muhammadiyah. Ia berjasa sebagai wakil ketua di bawah beberapa pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum Muhammadiyah pada akhir tahun 1968, beberapa hari sebelum ia meninggal.

Kehidupan awal

Fakih dilahirkan di GresikJawa TimurHindia Belanda, pada 2 Maret 1904. Ayahnya, Usman Iskandar, bekerja sebagai pedagang kayu, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang merupakan keturunan ulama. Pasangan itu, yang hidupnya pas-pasan, mempunyai empat anak lain. Karena mereka tidak berasal dari kaum priyayi, anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda.[2][3] Fakih belajar Islam dari waktu kecil; ia banyak diajari ayahnya.[3] Ketika ia berusia sepuluh tahun ia mulai belajar di sebuah pesantren di Gresik. Setelah lulus pada tahun 1918, ia belajar di beberapa pesantren di luar kota Gresik, termasuk di Bungah.

Bekerja di Muhammadiyah

Fakih mengikuti ayahnya menggeluti bidang perdagangan; pada saat yang sama ia juga belajar bahasa dan Islam secara mandiri.[2] Ketika organisasi Islam modernis Muhammadiyah masuk ke Gresik pada tahun 1922, Fakih menjadi salah satu anggota pertamanya. Oleh karena sangat aktif dengan Muhammadiyah Gresik, dalam waktu tiga tahun ia menjadi pemimpinnya; saat Fakih memimpin kelompok itu, Muhammadiyah Gresik diakui secara resmi sebagai cabang Muhammadiyah. Melalui kerjanya dengan cabang Gresik, Fakih menjadi lebih dikenal dalam kalangan Muhammadiyah dan dipindahkan ke cabang Surabaya. Ia juga aktif dalam politik, dan pada tahun 1929 ia dipilih sebagai anggota dewan kota Surabaya.[5] Sementara, Fakih terus berdagang alat pembangunan; ia juga mempunyai perusahaan pembuatan kapal.

Selama periode 1932 sampai 1936 Fakih menjadi anggota dewan daerah Muhammadiyah, sekaligus menjadi redaktur majalah Muhammadiyah Bintang Islam dan Ketua Majelis Tarjih. Dengan semakin aktifnya, Fakih mulai bolak-balik dari Surabaya ke Gresik dengan mobil pribadinya, sebuah barang mewah yang jarang dipunyai orang pribumi pada saat itu; di Surabaya ia mengurus kepentingan Muhammadiyah, sementara di Gresik ia mengurus usahanya. Dalam waktu luangnya Fakih belajar bahasa Belanda dan mendalami ilmu Islam dengan mempelajari pemikiran Muhammad Abduh.

Pada 21 September 1937, Muhammadiyah, organisasi Islam konservatif Nahdatul Ulama (NU), kooperasi pedagang Sarekat Islam, dan sejumlah organisasi Islami lain – yang sudah lama bermusuhan – bergabung untuk membentuk sebuah payung organisasi bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang berpusat di Surabaya. Fakih menjadi bendahara organisasi tersebut. Pada tahun 1938 Fakih menjadi ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, menggantikan Mas Mansoer. Pada tahun 1940 ia mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang Muhammadiyah Surabaya dan anggota dewan kota untuk menjadi pemimpin sekretariat MIAI.

Masyumi

Potret Fakih Usman sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 1956–1959 dari partai Masyumi daerah pemilihan Jawa Barat

Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, pada 9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan ketua Koninklijk Nederlands-Indische Leger Jenderal Hein ter Poorten menyerah. Penguasa Jepang melarang semua jenis organisasi, sehingga MIAI terpaksa dibubarkan pada bulan Mei. MIAI terbentuk lagi pada 5 September 1942 dan, pada akhir tahun 1943, diberi nama Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia, atau Masyumi. Sewaktu menjabat di dewan Masyumi, Fakih menjadi anggota Syu Sangi In, dewan penasihat Jepang, di Surabaya; ia memegang jabatan ini hingga tahun 1945.

Setelah serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945, pihak Jepang mulai mengundurkan diri. Setelah itu Fakih mulai membuka hubungan kerja dengan pihak pemerintah Republik. Dari tanggal 7 hingga 8 November 1945 Fakih bergabung dengan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta, yang membawa hasil Masyumi dijadikan partai politik yang mewakili kepentingan Islam. Biarpun ia kembali ke Gresik setelah pertemuan tersebut, karena adanya Pertempuran Surabaya ia dan keluarganya mengungsi ke Malang.

Di Malang, Fakih bergabung dengan Masjkur dan Zainul Arifin untuk membentuk kelompok revolusi yang dibentuk dari kelompok Sabilillah dan Hizbullah, yang pernah dilatih Jepang; Fakih sendiri menjadi wakil pemimpin satuan tersebut. Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan pada bulan Desember 1948, Fakih dan keluarganya melarikan diri ke Surakarta; di kota itu Fakih menjadi aktif dengan Muhammadiyah lagi. Ia menjadi salah satu wakil ketua, di bawah Bagus Hadikusumo, dan harus pulang pergi kerja antara Surakarta dan Yogyakarta.[10]

Menteri Agama

Fakih sebagai Menteri Agama, tahun 1952

Pada akhir tahun 1949 pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar, yang berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Ini menjadi salah satu penyebab dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari enam belas negara bagian. Pada 21 Januari 1950 Fakih menggantikan Masjkur sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Halim, mewakili Republik Indonesia; pada saat itu, republik terdiri dari Yogyakarta, Banten, dan sebagian besar Sumatera. Bekerja sama dengan Menteri Agama RIS Wahid Hasyim, Fakih mulai menetapkan kurikulum pelajaran agama standar di sekolah umum dan memodernisasi pendidikan di sekolah berbasis agama. Sementara, mereka juga bekerja untuk menyatukan kedua kementerian agama. Pada 17 Agustus 1950 RIS dan anggotanya menjadi satu republik, dengan Hasyim sebagai menteri agama.

Di bawah Hasyim, Fakih bertugas sebagai pemimpin bagian pendidikan agama. Sementara, masing-masing anggota Masyumi berselisih pandang atas tujuan partai;[19] NU beranggapan bahwa Masyumi sudah terlalu mengutamakan politik, sehingga dasarnya dalam Islam diabaikan. Saat Kabinet Natsir mulai runtuh dan Fakih diajukan Masyumi sebagai calon Menteri Agama – sebuah tindakan yang kontroversial karena belum ada orang NU sebagai calon menteri – NU mengundurkan diri dari Masyumi, mulai 5 April 1952. Fakih dipilih dengan mayoritas lima suara, sementara kandidat lainnya, Usman Raliby, mendapatkan empat.

Fakih dijadikan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Ia dilantik pada 3 April 1952; setelah itu, ia dan keluarga berpindah ke ibu kota Indonesia di Jakarta. Setiba di sana, Fakih mulai program reformasi dalam Kementerian Agama,[22] termasuk meresmikan tujuan kementerian: untuk menyediakan guru agama, mempromosikan hubungan antar-agama yang baik, dan menentukan tanggal hari raya. Ia juga berusaha untuk meninjau ulang struktur kementerian. Ini termasuk meresmikan hierarki kepemimpinan dan membentuk cabang di tingkat provinsi dan daerah. Kementerian juga melanjutkan peningkatan mutu pendidikan agama dan mengurus ribuan haji yang berangkat dari Indonesia ke Mekkah setiap tahun. Kabinet Wilopo bubar pada 30 Juli 1953, setelah adanya masalah imigrasi dan sengketa tanah di Medan. Fakih diganti Masjkur.

Pekerjaan lanjutan

Fakih menyampaikan pidato di pertemuan Muhammadiyah, tahun 1952

Setelah menjabat sebagai Menteri Agama, Fakih terus bekerja dengan kementerian dan Muhammadiyah, sehingga menjabat sebagai Wakil Ketua I Muhammadiyah di bawah Ahmad Rasyid Sutan Mansur; pada tahun 1956 ia menjadi salah satu dari tiga anggota Muhammadiyah yang menyampaikan pandangan mereka mengenai masyarakat Islam sejati, yang mengutamkan pendidikan sosial.[26] Namun, Fakih lebih aktif dengan Masyumi. Setelah Pemilihan Konstituante pada tahun 1955, Fakih dijadikan anggota Konstituante, yang dimaksud untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru. Namun, Konstituante tidak bisa mencapai kesepakatan, sehingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959. Pada tahun 1959 pula Fakih mendirikan majalah Pandji Masjarakat dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Joesoef Poear Abdullah, dan Ahmad Joesoef.

Soekarno membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960, setelah pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara terlibat dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI); Fakih sendiri pernah ikut dalam negosiasi dengan pemerintah revolusioner, bekerja sama dengan Mohammad Roem. Bubarnya Masyumi membuat Fakih lebih mengutamakan Muhammadiyah, sehingga menjadi Wakil Ketua II di bawah Muhammad Yunus Anis.

Dalam sebuah acara pendidikan kepemimpinan yang diadakan selama bulan Ramadan 1961, Fakih mulai membentuk suatu identitas kelembagaan melalui pidatonya “Apakah Muhammadiyah Itu?”, yang menggambarkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdasarkan dakwah, yang mengutamakan isu duniawi, dan hendak bekerja sama dengan pemerintah untuk menentukan masa depan yang lebih baik untuk kaum Muslim.[29] Konsep ini dirumuskan selama tahun 1962, sehingga “Kepribadian Muhammadiyah” menetapkan bahwa organisasi tersebut harus menuju masyarakat Islam sejati sekaligus melawan politik sayap kiri.[30] Ini diikuti oleh penataan kembali hierarki Muhammadiyah, sehingga Kepribadian Muhammadiyah ini lebih mudah diwujudkan.[31]

Dari tahun 1962 hingga 1965 Fakih menjadi Wakil Ketua I Muhammadiyah di bawah Ahmad Badawi, sekaligus menjadi penasihat untuk para pemimpin agama muda. Setelah gagalnya Gerakan 30 September, yang diikuti pembantaian ribuan orang komunis dan Soekarno digantikan oleh Soeharto sebagai presiden, Fakih dan beberapa anggota Muhammadiyah lainnya meminta izin untuk membentuk kembali Masyumi; namun, izin ini tidak diberikan.[32][3]

Dalam periode kedua Ahmad Badawi, Fakih bertugas sebagai penasihat dan bertanggung jawab atas pengelolaan organisasi. Karena ia semakin sakit-sakitan, ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada Kongres Muhammadiyah Ke-37 pada tahun 1968, Fakih langsung mulai mencari penggantinya.[32] Pada 2 Oktober ia mengadakan pertemuan Dewan Muhammadiyah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut ia menggarisbesari rencananya untuk tiga tahun ke depan. Fakih juga menentukan Rasjidi dan Abdul Rozak Fachruddin sebagai pemimpin sementara saat Fakih pergi ke luar negeri untuk perawatan. Namun, meninggal pada hari berikutnya, hanya beberapa hari setelah dipilih. Ia digantikan Abdul Rozak Fachruddin pada hari yang sama;[a][33] Fachruddin dipilih secara aklamasi dari calon-calon lain, dan menjadi ketua umum selama 24 tahun.[34]

Warisan

Pada tahun 1930-an, orang-orang Muslim konservatif tidak setuju dengan kegiatan Fakih, sehingga ia diberi julukan “Londho silit ireng” (“Orang Belanda berpantat hitam”).[5] Orang-orang itu juga melempari rumahnya dengan batu.[5] Namun, dalam Muhammadiyah ia sampai sekarang dikenang dengan baik. Ia dianggap telah menentukan “Kepribadian Muhammadiyah”, identitas kelembagaan Muhammadiyah.[3] Untuk menghormati Fakih, Muhammadiyah beranggapan bahwa periodenya sebagai ketua berlangsung selama tiga tahun, biarpun Fakih sudah meninggal setelah beberapa hari.[35] Didin Syafruddin, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis bahwa Fakih beranggapan bahwa pendidikan sangat penting, sehingga lima dari tujuh anaknya bergelar doktor.[36] Syafruddin juga menulis bahwa reformasi Fakih sebagai Menteri Agama terbatas karena terbatasnya daya sumber manusia.[1] Jalan tempat rumah Fakih sewaktu kecil sekarang diberi nama Jalan Fakih Usman

https://id.wikipedia.org/wiki/Fakih_Usman

KH Ahmad Badawi Ketua ke-8, 1962-1968

KH Ahmad Badawi (Periode 1962-1968)

PENDIDIKAN

Santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, 1908-1913.

Santri di Pondok Pesantren Termas, Pacitan (K.H. Dimyati), 1913-1915.

Santri di Pondok Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan, 1915-1920.

Santri di Pondok Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921

Madrasah Muhammadiyah Standaarschool.

KARIER

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963).

Imam III Angkatan Perang Sabil (APS), 1947-1949.

Anggota laskar rakyat(instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono)

Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta, 1950.

Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1968.

Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah,1933

Kepala Madrasah Zai’mat,1942

Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965

Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.

KARYA

Pengadjian Rakjat

  1. (Jawa) Kitab Nukilan Sju’abul-Imam
  2. (Jawa) Kitab Nikah (huruf Arab Pegon)
  3. (Jawa) Kitab Parail (huruf Latin)
  4. (Jawa) Kitab Manasik Hadji
  5. (Arab) Miah Hadits
  6. (Arab) Mudzakkirat fi Tasji’il Islam
  7. (Arab) Qawaidul-Chams
  8. (Indonesia) Menghadapi Orla

Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/KH_Ahmad_Badawi

KH M YUNUS ANIS KETUA KE-7, 1959-1962.

KH M YUNUS ANIS (Periode 1959-1962)

K.H.R. Muhammad Yunus Anis (Lahir: Yogyakarta, 3 Mei 1903, Wafat: 1979) adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962.

PENDIDIKAN

Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad, Batavia (Jakarta), bimbingan Syekh Ahmad Syurkati.

KEHIDUPAN

Yunus Anis pernah mukim di berbagai daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat. Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan.

Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, Yunus Anis diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan. Ia pernah mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun, kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.

Yunus Anis sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962. Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

Sumber

https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus_Anis

Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Ahmad Rasyid Sutan Mansur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia,

Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Potret sebagai Anggota Konstituante RI
Lahir15 Desember 1895
ManinjauAgam
Meninggal25 Maret 1985 (umur 89)
Jakarta
Dikenal atasMantan Ketua Muhammadiyah
JabatanKetua Umum Muhammadiyah
PendahuluKi Bagoes Hadikoesoemo
PenggantiKH M Yunus Anis

Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur (lahir di ManinjauAgamSumatera Barat15 Desember 1895 – meninggal di Jakarta25 Maret 1985 pada umur 89 tahun) adalah seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.

Pendidikan

Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School (sekolah kelas dua), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.

Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (sekolah guru) di Kota Bukittinggi. Akan tetapi, karena sejak awal Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Mesir, maka dia memutuskan untuk belajar ilmu agama terlebih dahulu kepada H. Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka.

Karier

Pada saat perkumpulan Sumatera Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang, oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala SimpangAceh, selama dua tahun.

Pindah ke Pulau Jawa

Tahun 1920, dia pindah ke Pekalongan ketika cita-citanya untuk menempuh pendidikan di Mesir tidak tercapai. Namun kekecewaannya tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1922 Sutan Mansur bertemu dengan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Tokoh kharismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh Muhammadiyah.

Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidupnya kemudian. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk dirinya.

Dari ulama itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah. Maka pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan ini dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Dan kembali Sutan Mansur makin mengenal Islam tidak hanya dari aspek hukumnya, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan dan ekonomi dari dua tokoh tadi.

Tahun 1923 dia menjadi guru serta mubalig Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari pelbagai kalangan, antara lain bangsawan Jawa (R. Ranuwihardjo, R. Tjitrosoewarno, dan R. Oesman Poedjooetomo), keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan dan sekitarnya. Dua tahun kemudian dia kembali ke daerah kelahirannya sebagai mubalig Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera.

Mengembangkan Muhammadiyah

Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama ‘kaum muda’.

Di samping itu, selaku mubalig tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan mengadakan tablig keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (BanjarmasinAmuntai dan Kuala Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam Lembaga Kulliyatul Muballighin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.

Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.

Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur selaku imam Muhammadiyah Sumatera.

Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980.

Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.

Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.

Karya

Buku-bukunya antara lain:

  1. Pokok-pokok Pergerakan Muhammadiyah
  2. Penerangan Asas Muhammadiyah
  3. Hidup di Tengah Kawan dan Lawan
  4. Tauhid, Ruh Islam
  5. Ruh Jihad

https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Rasyid_Sutan_Mansur

Ki Bagus Hadikusumo (Ketua ke 5 dari Th 1944-1953


Ki Bagus Hadikusumo 1944-1953
Ki Bagus Hadikusumo
 
[[Ketua Umum Muhammadiyah]] 5
Masa jabatan
1944 – 1953
PendahuluKH Mas Mansur
PenggantiAhmad Rasyid Sutan Mansur
Informasi pribadi
Lahir24 November 1890
 Yogyakarta
Meninggal dunia4 November 1954 (umur 63)
 Jakarta


5. Ki Bagus Hadikusumo 1944-1953

Ki Bagus Hadikusumo (lahirdi Yogyakarta24 November 1890 – meninggaldi Jakarta4 November 1954 pada umur63 tahun) adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengannama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagusadalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdidalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.

Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra JawaMelayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.

Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).

Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI.

Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).

Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Bagoes_Hadikoesoemo

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai